20 Des. 2012

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jaminan Pembiayaan Mudharabah


METODOLOGI PENELITIAN

Proposal skripsi

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jaminan Pembiayaan Mudharabah”










PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2012










KATA PENGANTAR











Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa  yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya  sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.

Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai  tugas mata kuliah Metodologi Penelitian  dengan judul “ Tinjauan hukum islam terhadap jaminan pembiayaan mudharabah   di Universitas Muhammadiyah Jakarta .

Terima kasih kami sampaikan kepada bapak dosen mata kuliah Metodologi penelitian yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.

Demikianlah tugas ini kami susun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Metodologi penelitian













Jakarta , 13 September  2012









BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat muslim di Indonesia telah lama mendambakan kehadiran sistem perbankan yang sesuai tuntutan kebutuhan, tidak sebatas financial namun juga tuntutan moralitasnya. Bagi kaum muslimin, kehadiran bank syariah dapat memenuhi kebutuhan akan sebuah lembaga keuangan yang bukan hanya sebatas melayani secara ekonomi namun juga spiritual. Dan bagi masyarakat lainnya, bank syariah adalah sebagai sebuah alternatif lembaga jasa keuangan di samping perbankan konvensional yang telah lama ada. Ini terkait dengan tugas bank yang merupakan lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary), dengan tugas pokoknya menghimpun dana dari masyarakat, dan diharapkan dengan dana yang dimaksud dapat memenuhi kebutuhan dana kredit atau pembiayaan yang tidak disediakan baik oleh pihak swasta maupun negara dalam upaya meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1] Peran bank sebagai perantara keuangan adalah mengambil posisi tengah di antara orang-orang atau pihak yang berlebihan dana (penyimpan, penabung, deposan) dan orang-orang/pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana (peminjam, debitor, investor).

Dalam ajaran Islam, tugas bank ini diakui. Kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis dianggap sangat penting. Namun, di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya ketidakadilan, ketidakjujuran, dan penghisapan dari satu pihak ke pihak lain (bank dengan nasabahnya). Kedudukan bank syariah dalam hubungan dengan para nasabah adalah sebagai  mitra investor dan pedagang. Sedang dalam hal bank pada umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Sehubungan dengan jalinan hubungan investor dan pedagang tersebut, maka dalam menjalankan pekerjaannya, bank syariah menggunakan berbagai teknik dan metode investasi. Kontrak hubungan investasi antara bank syariah dengan nasabah ini disebut dengan pembiayaan. Dalam aktifitas pembiayaan bank syariah akan menjalankan berbagai teknik dan metode, yang penerapannya tergantung pada tujuan dan aktifitas, seperti kontrak mudharabah, musyarakah dan lainnya. Mekanisme perbankan syariah didasarkan prinsip mitra usaha dan bebas bunga. Oleh karena itu, dalam prinsip pembiayaan tidak terdapat pembayaran bunga kepada depositor atau pembebanan suatu bunga kepada nasabah pembiayaan.[2] Dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syariah harus memenuhi dua aspek; aspek syariah dan aspek ekonomi. Aspek syariah berarti dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah, bank syariah harus tetap berpedoman pada syariat Islam, antara lain tidak mengandung unsur maisir, gharar, riba, serta bidang usahanya harus halal. Aspek ekonomi berarti di samping mempertimbangkan hal-hal syariah, bank syariah tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan baik bagi bank syariah maupun bagi nasabah bank syariah.[3] Oleh karenanya, bank harus benar-benar memperhatikan segala bentuk aktifitasnya dalam kerangka kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Salah satu jenis pembiayaan yang dipraktikkan dalam perbankan syariah adalah pembiayaan mudharabah. Ia adalah pembiayaan yang disalurkan kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini bank berperan sebagai shahib al-maal (pemilik dana) yang membiayai 100% kebutuhan suatu usaha, sedangkan nasabah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana).[4]Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, bank dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga, dan jaminan ini hanya dapat dicairkan jika mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.[5] UU No. 10 Tahun 1998 pasal 8 menyatakan bahwa dalam menyalurkan dana, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini senada dengan peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 yang menyatakan bahwa dalam rangka mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian, setiap bank diwajibkan untuk menjaga kualitas aktiva produktif dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif. Ketentuan-ketentuan di atas diperkuat lagi dengan adanya peraturan yang mengatur tentang akad yang digunakan oleh bank syariah dalam hal perhimpunan dan penyaluran dana, yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005, di mana bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Terlebih lagi, prinsip dalam analisis pembiayaan di bank syariah juga menekankan 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition. Prinsip keempat (collateral) artinya bahwa bank dalam melakukan pendekatan analisis pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.[6] DSN menyebutkan bahwa jaminan dapat dicairkan jika terjadi penyimpangan dan pelanggaran. Secara umum, penyimpangan timbul karena adanya moral hazard. Moral hazard terjadi ketika masalah moral dan etika dalam berbisnis tidak diindahkan.[7]Calon mudharib sering membuat proposal proyek atau laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ini akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pembayaran angsuran di mana pembiayaan merupakan aktiva produktif bagi suatu bank syariah. Tentunya bank harus tetap menjaga kualitas aktiva produktifnya sebagaimana petunjuk dari Bank Indonesia. Bank syariah juga harus meminimalisasi risiko kerugian akibat pembiayaan bermasalah (non performing financing). Karena pada hakikatnya, dana yang disalurkan kepada pihak kedua dalam bentuk pembiayaan itu adalah amanah nasabah pihak ketiga (deposan atau penabung) yang harus senantiasa dijaga.

Dapat dikatakan, berbagai macam faktor yang telah disebutkan menunjukkan bahwa jaminan bagi bank syariah adalah suatu kebutuhan yang sangat sulit untuk diabaikan dalam menyalurkan pembiayaannya. Tanpa adanya jaminan, dengan kondisi pebisnis yang demikian, bank syariah berada pada titik ketidakpastian.Terkait dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dalam hal pembiayaan mudharabah, di mana di dalamnya terdapat statement tentang jaminan, tentunya bukan tanpa dasar dan alasan yang jelas. DSN berkewajiban untuk melahirkan fatwa-fatwa yang menjadi acuan dalam praktek ekonomi syariah di Indonesia. Karena DSN merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian dan juga bertugas mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan syariah. Masalah yang timbul kemudian adalah hakikat mudharabah itu sendiri. Prinsip paling utama dalam pelaksanaan akad mudharabah adalah kepercayaan.  Syafi'i Antonio menyebutnya dengan Trust Financing.[8] Pada hakikatnya, seseorang yang meminjamkan hartanya atau memberikannya untuk dikelola orang lain adalah karena adanya kepercayaan. Dalam kaitannya pada praktik perbankan, mudharib berkedudukan sebagai seorang yang meminjam. Dengan adanya persyaratan jaminan, maka posisi calon mudharib ini menjadi sulit. Untuk itulah penulis merasa perlu untuk membahas mengenai bagaimana sebetulnya kedudukan jaminan yang dipersyaratkan pada pembiayaan mudharabah dalam tinjauan hukum Islam, dengan menganalisa fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah, dan apa saja yang melatarbelakangi dikeluarkannya fatwa tersebut.









B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

            Berawal dari uraian yang telah dipaparkan di atas, melihat luasnya pembahasan mengenai pembiayaan mudharabah dalam fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000, maka penulis memfokuskan penelitian hanya pada persyaratan jaminan pada pembiayaan mudharabah.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang ada, pembahasan yang akan dilakukan dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya keputusan tentang jaminan pada fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000?

2. Apa kedudukan hukum jaminan pada pembiayaan mudharabah dalam perspektif hukum Islam?



C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisa fatwa DSN MUI tentang pembiayaan mudharabah di mana di dalamnya terdapat pernyataan keputusan tentang jaminan, untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan DSN MUI.

2. Meneliti dan mengetahui aspek hukum Islam yang melandasi persyaratan jaminan pembiayaan mudharabah



2. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, sebagai pengembangan ilmu pengetahuan muamalah pada umumnya dan khususnya menyangkut jaminan pembiayaan mudharabah

2. Secara praktis, memberikan informasi kepada masyarakat maupun pelaku perbankan syariah mengenai jaminan pembiayaan mudharabah, dengan harapan praktik perbankan syariah akan semakin sesuai dengan yang diharapkan semua pihak

D. Kerangka Konsep

            Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang menjadi salah satu pilihan masyarakat Indonesia. Bagi kaum muslimin, dapat dikatakan bahwa bank syariah adalah suatu keharusan. Dan bagi yang lain, ia adalah alternative lembaga keuangan perbankan dengan berbagai pertimbangan keuntungan. Di satu sisi, sebagai lembaga keuangan yang melandaskan aktifitas operasionalnya pada prinsip syariah, bank syariah mau tidak mau dituntut untuk menaati pakem-pakem yang bersumber dari hukum-hukum Islam. Semua itu harus tetap diperhatikan dan diturut dengan baik. Di sisi lain, bank syariah juga dihadapkan pada persaingan bisnis dengan perbankan konvensional yang tentunya lebih senior dalam hal keberadaan dan operasionalnya. Beragam hal terkait perbankan konvensional membuat bank syariah harus melakukan inovasi atau – paling tidak – menyamai aktifitas operasional bank konvensional, dengan catatan khusus: tidak diperkenankan untuk berbenturan dengan prinsip syariah.

            Kondisi yang ada pada masyarakat Indonesia baik dari segi ekonomi, perkembangan teknologi, karakter, dan lainnya, melahirkan persoalan-persoalan yang kadang menghadapkan bank syariah pada permasalahan penerapan prinsip syariah. Jika tidak ditangani dengan baik, baik secara teknis maupun legalitas hukum, kondisi ini akan membahayakan keberlangsungan bank syariah itu sendiri.

Untuk itulah fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia sangat diperlukan agar berjalannya operasional lembaga keuangan syariah dapat sesuai dengan apa yang diharapkan.

1. Konsep Jaminan dan Pembiayaan Mudharabah Shahib al-maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu usaha, sedangkan nasabah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana).[9]

Dalam Islam, prinsip paling utama dalam pelaksanaan akad mudharabah adalah kepercayaan.

2. Penjelasan Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, bank dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga, dan jaminan ini hanya dapat dicairkan jika mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.[10]

3. Analisa Fatwa DSN-MUI tentang Jaminan Pembiayaan Mudharabah Dalam menganalisa fatwa DSN MUI tentang Jaminan Pembiayaan Mudharabah ini penulis melakukan pendekatan hukum Islam untuk mengetahui kedudukan hukum jaminan pada pembiayaan mudharabah, dengan sebelumnya menganalisa faktor-faktor dipersyaratkannya jaminan pada pembiayaan mudharabah.

E. Tinjauan Pustaka  

            Untuk menghindari penelitian terhadap objek yang sama atau pengulangan terhadap suatu penelitian yang sama, serta menghindari anggapan plagiasi terhadap karya tertentu, maka perlu dilakukan review terhadap kajian yang pernah ada. Tema yang penulis angkat pada skripsi ini adalah tentang jaminan. Tema ini memang cukup banyak dibahas. Berikut ini penulis paparkan beberapa penelitian yang membahas tema ini, antara lain:

1. Aplikasi Agunan dalam Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah (Studi Kasus PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.) – Irawati (FSH/Muamalat/Perbankan Syariah, 2007)

            Dalam skripsi ini dibahas mengenai aplikasi agunan dalam pembiayaan mudharabah dan murabahah. Tinjauannya adalah pada teknis operasional pembiayaan mudharabah dan murabahah di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Bank Muamalat Indonesia terlebih dahulu memperhatikan situasi dan kondisi calon nasabah pembiayaan dengan analisa pembiayaan. Dari mulai analisa proposal pembiayaan, dokumen dan arsip administratif, dan juga kelayakan pembiayaan. Termasuk juga di dalamnya dibahas tentang jaminan apa saja yang dapat dijadikan agunan dan nilai jaminan tersebut. Skripsi ini juga sedikit menyinggung mengenai pandangan jaminan secara syariah, di mana disebutkan bahwa pada hakikatnya jaminan tidak digunakan dengan tujuan menzholimi namun diposisikan untuk mengganti kerugian.

2. Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Jaminan di Pegadaian Syariah (Studi Kasus pada Pegadaian Syariah Cabang Pondok Aren Tangerang) – Elis Nuryani (FSH/Muamalat/Perbankan Syariah, 2006)

            Dalam skripsi ini, jaminan dibahas dalam tinjauan hukum Islam dan juga hukum positif. Dalam meninjau jaminan dengan sudut pandang hukum Islam, peneliti mengemukakan hadis-hadis dan juga pendapat beberapa ulama tentang jaminan itu sendiri, pemeliharaan dan pemanfaatan jaminan, penanganan terhadap risiko kerusakan, dan juga tentang pelelangan barang jaminan. Sedangkan dalam meninjau jaminan pada pegadaian syariah dari sudut pandang hukum Islam, peneliti mengemukakan beberapa ketentuan hukum yang ada pada Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata. Lalu kemudian memperbandingkan kesamaan dan perbedaan kedua tinjauan ini.

3. Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Jaminan Pembiayaan Murabahah dalam Bank Syariah (Studi Kasus PT. BPRS Syariah Wakalumi Ciputat) – Irmalia (FSH/Muamalat/Perbankan Syariah, 2006)

            Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai manajemen proses pembiayaan murabahah pada BPRS Wakalumi, mulai dari persyaratan pengajuan sampai pembiayaan itu diberikan. Di sini juga dibahas mengenai jaminan pembiayaan murabahah dalam tinjauan hukum Islam dan hukum positif. Kemudian, peneliti membahas mengenai penerapan sistem jaminan pada BPRS Wakalumi, faktor-faktor pendorong diterapkannya system jaminan dan kendala yang dihadapi, serta strategi dalam menghadapi jaminan. Di sini juga dibahas tentang strategi mengembangkan system jaminan pada pembiayaan mudharabah.

4. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jaminan Bagi Nasabah Dari Perusahaan Asuransi yang Pailit – Tita Ritawaty (FSH/Muamalat/Asuransi Syariah, 2004)

Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai dasar hukum penentuan seseorang atau badan usaha yang dinyatakan jatuh pailit, penetapan seseorang atau badan usaha yang dinyatakan jatuh pailit, status hukum jaminan dari seseorang atau badan usaha yang dinyatakan pailit, akibat hukum, dan analisa terhadap jaminan bagi nasabah dari perusahaan asuransi yang pailit. Analisa yang dilakukan oleh peneliti mempergunakan dalil-dalil dari Al-Qur'an maupun Hadis, serta mengemukakan pendapat-pendapat ulama yang terkait dengan tema penelitian. Keempat skripsi di atas membahas mengenai jaminan yang diterapkan pada lembaga keuangan tertentu. Skripsi pertama dan ketiga lebih menekankan pembahasan pada tataran aplikasi dan teknis manajemen pembiayaan.

Meskipun tema skripsi ketiga mengambil tinjauan hukum Islam, namun tidak terasa penekanan yang cukup berat pada instrumen-instrumen hukum Islam seperti Al-Qur'an, Hadis, dan juga pendapat ulama mengenai hal ini. Yang lebih ditampakkan adalah aplikasi pembiayaan dan strategi pengembangan penerapan jaminan pembiayaan.

Pada skripsi kedua dan keempat, pembahasan jaminan dalam tinjauan hukum Islam lebih terlihat. Banyak dalil Al-Qur'an, Hadis, dan juga pendapat ulama yang disampaikan. Selain itu, kedua skripsi ini juga memperbandingkan kesamaan dan perbedaan antara Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif. Penelitian yang penulis hendak lakukan mengambil fatwa DSN-MUI tentang pembiayaan mudharabah di mana di dalamnya terdapat pernyataan tentang jaminan. Fokus pada penelitian ini adalah pada faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tersebut.

Kemudian, penulis akan menganalisa faktor-faktor tersebut melalui berbagai macam instrumen pembentuk hukum Islam. Tentunya, penulis akan mengemukakan beragam dalil tidak hanya Al-Qur'an dan Hadis saja, namun juga pendapat-pendapat ulama baik klasik maupun kontemporer, serta jika tidak ditemukan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis, maka penulis mempergunakan kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan sebagai alat analogi dalam hukum Islam.






[1]  Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YMKN, 2005),h. 16.

2 Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik, Prospek (Jakarta: Serambi, 2003), h. 48
[3] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, h. 15. 4 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI; Edisi Revisi (Jakarta: Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2006) cet. keenam, h.43
[4] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional

[5] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional
MUI; Edisi Revisi, h. 44
[6] Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Jakarta: UPP AMP YMKN, 2002) h. 304.
[7] Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik, Prospek, h.112
[8] M. Syafi'i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),cet. pertama, h. 98


[9] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional
MUI; Edisi Revisi, h. 43
[10] Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI; Edisi Revisi, h. 44