METODOLOGI
PENELITIAN
Proposal
skripsi
“Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Jaminan Pembiayaan Mudharabah”
PERBANKAN
SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan.
Tugas ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Metodologi Penelitian dengan judul “ Tinjauan hukum islam terhadap jaminan pembiayaan mudharabah ” di Universitas Muhammadiyah Jakarta .
Terima kasih kami sampaikan kepada bapak dosen
mata kuliah Metodologi penelitian yang telah membimbing dan memberikan
kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah tugas ini kami susun semoga
bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah Metodologi penelitian
Jakarta , 13 September 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Masyarakat muslim di
Indonesia telah lama mendambakan kehadiran sistem perbankan yang sesuai
tuntutan kebutuhan, tidak sebatas financial namun juga tuntutan moralitasnya.
Bagi kaum muslimin, kehadiran bank syariah dapat memenuhi kebutuhan akan sebuah
lembaga keuangan yang bukan hanya sebatas melayani secara ekonomi namun juga
spiritual. Dan bagi masyarakat lainnya, bank syariah adalah sebagai sebuah
alternatif lembaga jasa keuangan di samping perbankan konvensional yang telah
lama ada. Ini terkait dengan tugas bank yang merupakan lembaga perantara jasa keuangan
(financial
intermediary), dengan tugas pokoknya menghimpun
dana dari masyarakat, dan diharapkan dengan dana yang dimaksud dapat memenuhi kebutuhan
dana kredit atau pembiayaan yang tidak disediakan baik oleh pihak swasta maupun
negara dalam upaya meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[1]
Peran bank sebagai perantara keuangan adalah mengambil posisi tengah di antara
orang-orang atau pihak yang berlebihan dana (penyimpan, penabung, deposan) dan
orang-orang/pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana (peminjam, debitor,
investor).
Dalam ajaran Islam,
tugas bank ini diakui. Kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis
dianggap sangat penting. Namun, di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan
adanya ketidakadilan, ketidakjujuran, dan penghisapan dari satu pihak ke pihak
lain (bank dengan nasabahnya). Kedudukan bank syariah dalam hubungan dengan
para nasabah adalah sebagai mitra
investor dan pedagang. Sedang dalam hal bank pada umumnya, hubungannya adalah
sebagai kreditur atau debitur. Sehubungan dengan jalinan hubungan investor dan
pedagang tersebut, maka dalam menjalankan pekerjaannya, bank syariah
menggunakan berbagai teknik dan metode investasi. Kontrak hubungan investasi
antara bank syariah dengan nasabah ini disebut dengan pembiayaan. Dalam
aktifitas pembiayaan bank syariah akan menjalankan berbagai teknik dan metode,
yang penerapannya tergantung pada tujuan dan aktifitas, seperti kontrak mudharabah,
musyarakah
dan
lainnya. Mekanisme perbankan syariah didasarkan prinsip mitra usaha dan bebas
bunga. Oleh karena itu, dalam prinsip pembiayaan tidak terdapat pembayaran
bunga kepada depositor atau pembebanan suatu bunga kepada nasabah pembiayaan.[2]
Dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syariah harus memenuhi dua aspek; aspek
syariah dan aspek ekonomi. Aspek syariah berarti dalam setiap realisasi
pembiayaan kepada para nasabah, bank syariah harus tetap
berpedoman
pada syariat Islam, antara lain tidak mengandung unsur maisir, gharar,
riba, serta bidang usahanya harus halal. Aspek ekonomi berarti di samping mempertimbangkan
hal-hal syariah, bank syariah tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan
baik bagi bank syariah maupun bagi nasabah bank syariah.[3]
Oleh
karenanya, bank harus benar-benar memperhatikan segala bentuk
aktifitasnya dalam kerangka kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang
dipercayakan kepadanya.
Salah
satu jenis pembiayaan yang dipraktikkan dalam perbankan syariah adalah pembiayaan mudharabah.
Ia adalah pembiayaan yang disalurkan kepada pihak lain untuk suatu usaha yang
produktif. Dalam pembiayaan ini bank berperan sebagai shahib
al-maal (pemilik dana) yang membiayai 100% kebutuhan suatu
usaha, sedangkan nasabah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana).[4]Dalam
fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000
dijelaskan bahwa pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak
ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, bank dapat meminta
jaminan dari mudharib atau
pihak ketiga, dan jaminan ini hanya
dapat dicairkan jika mudharib terbukti
melakukan pelanggaran
terhadap hal-hal yang telah disepakati.[5] UU No. 10 Tahun 1998
pasal 8 menyatakan bahwa dalam menyalurkan dana, bank wajib mempunyai keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan
debitur
untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini senada dengan
peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 yang menyatakan bahwa dalam rangka mengelola
risiko kredit dan meminimalkan
potensi
kerugian, setiap bank diwajibkan untuk menjaga kualitas aktiva produktif dan wajib
membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif. Ketentuan-ketentuan
di atas diperkuat lagi dengan adanya peraturan yang mengatur tentang akad
yang digunakan oleh bank syariah dalam hal perhimpunan dan penyaluran dana, yaitu
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005, di mana
bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila
nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena
kelalaian dan/atau kecurangan. Terlebih lagi, prinsip dalam analisis pembiayaan
di bank syariah juga menekankan 5C, yaitu character,
capacity, capital, collateral, dan condition.
Prinsip keempat (collateral)
artinya bahwa bank dalam melakukan pendekatan analisis
pembiayaan selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki
oleh peminjam.[6]
DSN menyebutkan bahwa jaminan dapat dicairkan jika terjadi penyimpangan dan
pelanggaran. Secara umum, penyimpangan timbul karena adanya moral
hazard. Moral hazard terjadi ketika masalah moral dan etika dalam
berbisnis tidak diindahkan.[7]Calon
mudharib
sering
membuat proposal proyek atau laporan keuangan yang tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan. Ini akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran
pembayaran angsuran di mana pembiayaan merupakan aktiva produktif bagi suatu
bank syariah. Tentunya bank harus tetap menjaga kualitas aktiva produktifnya
sebagaimana petunjuk dari Bank Indonesia. Bank syariah juga harus
meminimalisasi risiko kerugian akibat pembiayaan bermasalah (non
performing financing). Karena pada hakikatnya, dana yang
disalurkan kepada pihak kedua dalam bentuk pembiayaan itu adalah amanah nasabah
pihak ketiga (deposan atau penabung) yang harus senantiasa dijaga.
Dapat dikatakan,
berbagai macam faktor yang telah disebutkan menunjukkan bahwa jaminan bagi bank
syariah adalah suatu kebutuhan yang sangat sulit untuk diabaikan dalam
menyalurkan pembiayaannya. Tanpa adanya jaminan, dengan kondisi pebisnis yang
demikian, bank syariah berada pada titik ketidakpastian.Terkait dengan fatwa
yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dalam hal pembiayaan mudharabah,
di mana di dalamnya terdapat statement
tentang jaminan, tentunya bukan tanpa dasar dan alasan yang jelas. DSN berkewajiban
untuk melahirkan fatwa-fatwa yang menjadi acuan dalam praktek ekonomi syariah
di Indonesia. Karena DSN merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian
dan juga bertugas mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
syariah.
Masalah
yang timbul kemudian adalah hakikat mudharabah itu sendiri. Prinsip paling
utama dalam pelaksanaan akad mudharabah adalah kepercayaan. Syafi'i Antonio menyebutnya dengan Trust
Financing.[8]
Pada
hakikatnya, seseorang yang meminjamkan hartanya atau memberikannya untuk
dikelola orang lain adalah karena adanya kepercayaan. Dalam kaitannya pada
praktik perbankan, mudharib berkedudukan
sebagai seorang yang meminjam. Dengan adanya persyaratan jaminan, maka posisi
calon mudharib ini
menjadi sulit. Untuk itulah penulis merasa perlu untuk membahas mengenai
bagaimana sebetulnya kedudukan jaminan yang dipersyaratkan pada pembiayaan mudharabah
dalam tinjauan hukum Islam, dengan menganalisa fatwa Dewan Syariah Nasional No.
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah, dan apa saja yang
melatarbelakangi dikeluarkannya fatwa tersebut.
B. Pembatasan dan
Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berawal dari uraian yang telah
dipaparkan di atas, melihat luasnya pembahasan mengenai pembiayaan mudharabah
dalam
fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000, maka penulis memfokuskan penelitian hanya
pada persyaratan jaminan pada pembiayaan mudharabah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pembatasan masalah yang ada, pembahasan yang akan dilakukan dirumuskan dalam
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa faktor-faktor yang
melatarbelakangi lahirnya keputusan tentang jaminan pada fatwa DSN MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000?
2. Apa kedudukan hukum jaminan pada
pembiayaan mudharabah dalam perspektif
hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisa fatwa DSN MUI tentang
pembiayaan mudharabah di mana di dalamnya
terdapat pernyataan keputusan tentang jaminan, untuk mengetahui faktor-faktor yang
menjadi pertimbangan DSN MUI.
2. Meneliti dan mengetahui aspek hukum
Islam yang melandasi persyaratan jaminan pembiayaan mudharabah
2. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan muamalah pada umumnya dan khususnya menyangkut
jaminan pembiayaan mudharabah
2. Secara praktis, memberikan informasi
kepada masyarakat maupun pelaku perbankan syariah mengenai jaminan pembiayaan mudharabah,
dengan harapan praktik perbankan syariah akan semakin sesuai dengan yang
diharapkan semua pihak
D. Kerangka Konsep
Bank syariah merupakan lembaga
keuangan yang menjadi salah satu pilihan masyarakat Indonesia. Bagi kaum
muslimin, dapat dikatakan bahwa bank syariah adalah suatu keharusan. Dan bagi
yang lain, ia adalah alternative lembaga keuangan perbankan dengan berbagai
pertimbangan keuntungan. Di satu sisi, sebagai lembaga keuangan yang
melandaskan aktifitas operasionalnya pada prinsip syariah, bank syariah mau
tidak mau dituntut untuk menaati pakem-pakem yang bersumber dari hukum-hukum
Islam. Semua itu harus tetap diperhatikan dan diturut dengan baik. Di sisi
lain, bank syariah juga dihadapkan pada persaingan bisnis dengan perbankan
konvensional yang tentunya lebih senior dalam hal keberadaan dan
operasionalnya. Beragam hal terkait perbankan konvensional membuat bank syariah
harus melakukan inovasi atau – paling tidak – menyamai aktifitas operasional
bank konvensional, dengan catatan khusus: tidak diperkenankan untuk berbenturan
dengan prinsip syariah.
Kondisi yang ada pada masyarakat
Indonesia baik dari segi ekonomi, perkembangan teknologi, karakter, dan
lainnya, melahirkan persoalan-persoalan yang kadang menghadapkan bank syariah
pada permasalahan penerapan prinsip syariah. Jika tidak ditangani dengan baik,
baik secara teknis maupun legalitas hukum, kondisi ini akan membahayakan
keberlangsungan bank syariah itu sendiri.
Untuk itulah fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia sangat diperlukan agar berjalannya operasional
lembaga keuangan syariah dapat sesuai dengan apa yang diharapkan.
1. Konsep Jaminan dan Pembiayaan Mudharabah Shahib
al-maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan
suatu usaha, sedangkan
nasabah bertindak sebagai mudharib (pengelola
dana).[9]
Dalam Islam, prinsip paling utama dalam
pelaksanaan akad mudharabah adalah kepercayaan.
2. Penjelasan Fatwa DSN-MUI No.
07/DSN-MUI/IV/2000 Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No.
07/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah
tidak
ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, bank dapat
meminta jaminan dari mudharib
atau pihak ketiga, dan jaminan ini hanya dapat dicairkan jika mudharib
terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.[10]
3. Analisa Fatwa DSN-MUI tentang
Jaminan Pembiayaan Mudharabah Dalam menganalisa fatwa DSN MUI tentang Jaminan
Pembiayaan Mudharabah ini penulis melakukan pendekatan hukum Islam untuk mengetahui
kedudukan hukum jaminan pada pembiayaan mudharabah, dengan sebelumnya
menganalisa faktor-faktor dipersyaratkannya jaminan pada pembiayaan mudharabah.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari penelitian terhadap
objek yang sama atau pengulangan terhadap suatu penelitian yang sama, serta
menghindari anggapan plagiasi terhadap karya tertentu, maka perlu dilakukan
review terhadap kajian yang pernah ada. Tema yang penulis angkat pada skripsi
ini adalah tentang jaminan. Tema ini memang cukup banyak dibahas. Berikut ini
penulis paparkan beberapa penelitian yang membahas tema ini, antara lain:
1. Aplikasi Agunan
dalam Pembiayaan Mudharabah dan
Murabahah (Studi
Kasus PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.) – Irawati (FSH/Muamalat/Perbankan
Syariah, 2007)
Dalam skripsi ini dibahas mengenai
aplikasi agunan dalam pembiayaan mudharabah dan murabahah. Tinjauannya adalah
pada teknis operasional pembiayaan mudharabah dan
murabahah
di
PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Bank Muamalat Indonesia terlebih dahulu
memperhatikan situasi dan kondisi calon nasabah pembiayaan dengan analisa
pembiayaan. Dari mulai analisa proposal pembiayaan, dokumen dan arsip
administratif, dan juga kelayakan pembiayaan. Termasuk juga di dalamnya dibahas
tentang jaminan apa saja yang dapat dijadikan agunan dan nilai jaminan
tersebut. Skripsi ini juga sedikit menyinggung mengenai pandangan jaminan secara
syariah, di mana disebutkan bahwa pada hakikatnya jaminan tidak digunakan
dengan tujuan menzholimi namun diposisikan untuk mengganti kerugian.
2. Tinjauan Hukum
Islam dan Hukum Positif Terhadap Jaminan di Pegadaian Syariah (Studi Kasus pada
Pegadaian Syariah Cabang Pondok Aren Tangerang) – Elis Nuryani
(FSH/Muamalat/Perbankan Syariah, 2006)
Dalam skripsi ini, jaminan dibahas
dalam tinjauan hukum Islam dan juga hukum positif. Dalam meninjau jaminan
dengan sudut pandang hukum Islam, peneliti mengemukakan hadis-hadis dan juga
pendapat beberapa ulama tentang jaminan itu sendiri, pemeliharaan dan pemanfaatan
jaminan, penanganan terhadap risiko kerusakan, dan juga tentang pelelangan
barang jaminan. Sedangkan dalam meninjau jaminan pada pegadaian syariah dari sudut
pandang hukum Islam, peneliti mengemukakan beberapa ketentuan hukum yang ada
pada Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata. Lalu kemudian memperbandingkan
kesamaan dan perbedaan kedua tinjauan ini.
3. Tinjauan Hukum
Islam dan Hukum Positif Terhadap Jaminan Pembiayaan Murabahah
dalam Bank Syariah (Studi Kasus PT. BPRS
Syariah Wakalumi Ciputat) – Irmalia (FSH/Muamalat/Perbankan Syariah, 2006)
Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai
manajemen proses pembiayaan murabahah pada BPRS Wakalumi, mulai dari
persyaratan pengajuan sampai pembiayaan itu diberikan. Di sini juga dibahas mengenai
jaminan pembiayaan murabahah dalam tinjauan hukum Islam dan hukum positif. Kemudian,
peneliti membahas mengenai penerapan sistem jaminan pada BPRS Wakalumi,
faktor-faktor pendorong diterapkannya system jaminan dan kendala yang dihadapi,
serta strategi dalam menghadapi jaminan. Di sini juga dibahas tentang strategi
mengembangkan system jaminan pada pembiayaan mudharabah.
4. Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Jaminan Bagi Nasabah Dari Perusahaan Asuransi yang Pailit – Tita
Ritawaty (FSH/Muamalat/Asuransi Syariah, 2004)
Dalam skripsi ini
dijelaskan mengenai dasar hukum penentuan seseorang atau badan usaha yang
dinyatakan jatuh pailit, penetapan seseorang atau badan usaha yang dinyatakan
jatuh pailit, status hukum jaminan dari seseorang atau badan usaha yang
dinyatakan pailit, akibat hukum, dan analisa terhadap jaminan bagi nasabah dari
perusahaan asuransi yang pailit. Analisa yang dilakukan oleh peneliti mempergunakan
dalil-dalil dari Al-Qur'an maupun Hadis, serta mengemukakan pendapat-pendapat ulama
yang terkait dengan tema penelitian. Keempat skripsi di atas membahas mengenai
jaminan yang diterapkan pada lembaga keuangan tertentu. Skripsi pertama dan
ketiga lebih menekankan pembahasan pada tataran aplikasi dan teknis manajemen
pembiayaan.
Meskipun tema skripsi ketiga mengambil
tinjauan hukum Islam, namun tidak terasa penekanan yang cukup berat pada
instrumen-instrumen hukum Islam seperti Al-Qur'an, Hadis, dan juga pendapat
ulama mengenai hal ini. Yang lebih ditampakkan adalah aplikasi pembiayaan dan
strategi pengembangan penerapan jaminan pembiayaan.
Pada skripsi kedua dan keempat,
pembahasan jaminan dalam tinjauan hukum Islam lebih terlihat. Banyak dalil
Al-Qur'an, Hadis, dan juga pendapat ulama yang disampaikan. Selain itu, kedua
skripsi ini juga memperbandingkan kesamaan dan perbedaan antara Tinjauan Hukum
Islam dan Hukum Positif. Penelitian yang penulis hendak lakukan mengambil fatwa
DSN-MUI tentang pembiayaan mudharabah di
mana di dalamnya terdapat pernyataan tentang jaminan. Fokus pada penelitian ini
adalah pada faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tersebut.
Kemudian, penulis akan menganalisa
faktor-faktor tersebut melalui berbagai macam instrumen pembentuk hukum Islam.
Tentunya, penulis akan mengemukakan beragam dalil tidak hanya Al-Qur'an dan
Hadis saja, namun juga pendapat-pendapat ulama baik klasik maupun kontemporer,
serta jika tidak ditemukan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis, maka penulis
mempergunakan kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan sebagai alat analogi dalam
hukum Islam.
[1] Muhammad, Manajemen
Pembiayaan Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YMKN, 2005),h. 16.
[3]
Muhammad,
Manajemen
Pembiayaan Bank Syariah, h. 15. 4
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI; Edisi Revisi (Jakarta:
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2006) cet. keenam, h.43
[4]
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional
[5]
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional
MUI; Edisi Revisi,
h. 44
[6]
Muhammad,
Manajemen
Bank Syariah (Jakarta: UPP AMP YMKN, 2002) h. 304.
[7]
Latifa
M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah;
Prinsip, Praktik, Prospek, h.112
[8]
M.
Syafi'i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001),cet. pertama, h. 98
[9]
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Dewan Syariah Nasional
MUI;
Edisi Revisi,
h. 43
[10]
Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan
Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI; Edisi
Revisi, h. 44