21 Des. 2011

Pemikiran Ekonomi Islam " AL- GHAZALI "

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik.
Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature , dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern. 
Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Permasalahan dari beberapa tokoh pemikir muslim di atas, yang akan kami paparkan dalam makalah ini adalah Al Ghazali, Ibnu Taimiyyah dan Nizamul mulk. Kami mulai dari biografi singkat sampai pemikiran-pemikiran ekonomi.




BAB II
PEMIKIRAN EKONOMI AL GHAZALI

A.    PEMIKIRAN PANDANGAN AL GHAZALI TERHADAP EKONOMI
Terkadang penulis menganggap tidak perlu (lagi) untuk mnyebutkan tentang waktu yang tepat dalam mendefinisikan masa dalam kehidupan Ghazali, selama tema bahasan dalam tulisan ini hanya bersifat untuk mengkaji tentang seputar pemikiran beliau. Akan tetapi, kami masih tetap memiliki pandangan lain untuk memberikan sedikit perhatian tentang hal tersebut (masa kehidupan beliau). Sebab, bagaimanapun juga unsur waktu itu bisa memberikan penjelasan terhadap penilaian dari sisi ide dan atau pemikiran tentang figur kita ini Yakni Imam Al-Ggazali).
Abū Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hijrah di desa Ghazalah, di pinggir kota Tus, yang terletak pada hari ini di bahagian timur laut negara Iran, berdekatan dengan kota Mashhad, ibu kota wilayah Kahorasan. Karena ayahnya penjual benang, ia diberi nama panggilan Ghazali, yang dalam arti bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.[1]
Ayah Imam Al Ghazali sendiri adalah seorang fakir yang shalih. Beliau tidak mau makan kecuali dari karya tangannya (hasil kerjanya) sendiri, yakni dengan bekerja memintal benang. Di waktu kosong (tidak sedang bekerja), beliau suka mengaji kesalah seorang ulama dan duduk bersamanya. Lalu memberikan pelayanan kepadanya dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki hubungan dengannya serta berinfak kepada ulama tersebut semampunya. Beliau apabila mendengar nasihat dan wejangan dari para ulama khususnya ulama yang biasa beliau kungjungi selalu menangis dan berdoa kepada Allah; agar anak beliau dijadikan oleh Allah sebagai orang alim yang bisa memberikan ceramah (berdakwah).[2]
Hanya saja, kehendak Allah tidak memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang menjadi harapannya itu. Namun demikian, harapannya telah terkabulkan dan doanya juga diterima oleh Allah. Sungguh beliau meninggal dunia di saat Abu Hamid dalam keadaan masih sangat belia. Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam (Imam Al Ghazali) ini, sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuatnya tidak dikenal masa. Akan tetapi, beliau (sang Ibu) menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh suaminya (ayah Imam Al Ghazali) ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit dari ufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan.[3]
Sejak muda, Imam Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus kepada seorang ‘alim yang bernama asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad ar-Radhakani, kemudian Dia juga telah mempelajari ilmu nahwu dan ilmu hisab, serta telah berjaya menghafal isi al-Quran, sedangkan adiknya yang bernama Ahmad itu, sejak masa mudanya lagi sudah mula cenderung kepada ilmu tasawuf. Kemudian Dia pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul Fiqih. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Di kota ini, Imam Al-Ghazali belajar kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H (1085 M).[4]
Murid Juawaini ini pada masa kecilnya belajar ilmu fiqih, sekalipun tidak mendalam di kotanya; yaitu di Thus, kepada seorang guru bernama Ahmad bin Muhammad Ar Radzkani Ath Thusi. Di tanah Thus ini, guru tersebut merupakan guru permulaan bagi Imam Al Ghazali (Ustad Ridha’, Abu Hamid Al Ghazali, hlm.6). Adapun guru yang utama bagi sang Imam di wilayah Thus adalah Yusuf An Nasaj yang gemar dengan ilmu tasawuf dan mau menjalaninya. Yang kemudian ia kenal sebagai Imam Al Haramain.[5]

B.     SITUASI POLITIK

Sungguh persengketaan agama di atas ufuk kota itu pada masa kehidupan Al Ghazali masih beterbangan. Yang mana kesemuanya itu disebabkan oleh junlah masyarakat beragam Kristen di sana juga banyak. Begitu pula dengan pengikut aliran (madzhab) Syi’ah dari kelompok kaum Muslimin yang juga tumbuh subur di sana (Dr. Zuwairi, Hayatul AL Ghazali). Para ulama saat itu (yakni pada masa hidupnya Iman Al Ghazali) cenderung untuk serius di dalam menuntut ilmu. Hingga pada saat itu terdapat gerakan ilmiah yang sangat radikal dan berkelanjutan. Hanya saja, sebagian dari mereka menuntut ilmu bukan atas dasar ingin mendapatkan ilmu tersebut. Akan tetapi, sengaja hal itu dilakukan sabagai usaha untuk mendekatkan diri kepada para pemimpin (penguasa). Oleh karena itu, mereka terlihat sangat serius di dalam menuntut ilmu, hingga membuat hati para elit condong dan merasa senang kepada mereka. Walaupun tujuan mereka dalam menambah ilmu pengetahuan ini lebih di dasarkan pada usaha untuk meraih kedudukan, ketenaran dan nama harum; kecuali orang-orang yang mendapatkan pemeliharaan dari Allah SWT.[6]
Ketika Imam Al Ghazali berkunjung ke Baghdad, ibu kota Daulah Abbasiyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham al Mulk. Darinya, Imam Al Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), Al Ghazali diangkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya ini dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi utama.[7]
Dalam waktu yang sama, para elit itu membutuhkan untuk menjalin persahabatan dan guna mendapat pertolongan dari para ulama. Sebab pada saat itu agama merupakan sarana utama untuk mendirikan istana raja (kingdom) atau untuk menghancurkannya. Perkumpulan elit politik dengan para ulama tersebut dimaksudkan agar tujuan mereka bisa diselubungi dengan agama, hingga orang-orang awam akan menganggap, bahwa mereka terhindar dari kerakusan yang bersifat pribadi. Sungguh elit politik telah mengetahui hal itu, dan bagaimanakah pengaruh agama terhadap masyarakat awam serta kaum intelektual. Mereka lebih cenderung menerima ajakan agama daripada segala motivasi yang lain.
Oleh karena itu, kaum Salajiqah (penguasa yang tengah memimpin pada saat itu) mendirikan beberapa Madrasah di Baghdad, Naisabur, untuk mempelajari beberapa pedoman dasar Ahlu Sunnah. Nizam al Mulk yang memiliki jasa terbesar dalam membangun Madrasah diisukan dengan berita yang miring, serta dilaporkan kepada Syah (raja), seperti yang dikutip oleh Dr Zaki Mubarok dalam kitab AL Akhlaq dikatakan: “Bahwa sesungguhnya harta yang dipersiapkan oleh Nizam al Mulk untuk membangun Madrasah (sekolah dimaksud) hampir menyamai dengan dana yang digunakan bagi tentara yang benderanya dipagari dengan symbol Al Qusthaniyah (Konstantinopel).”. hingga Nizam al Mulk harus menjawab kepada raja: “Sesungguhnya aku menyediakan tentara untukmu yang boleh disebut dengan tentara malam. Dimana apabila tentaramu telah tidur di malam hari, maka tentara malam ini akan segera melakukan shalat dengan berdiri di hadapan Rabbnya, lalu mereka mencucurkan air mata seraya berdoa dengan lidah mendoakan engkau dan juga  kepada bala tentaramu. Engkau dan tentaramu berada di bawah perlindungan mereka. Dengannya engkau bisa hidup tentram, dan dengan doa mereka engkau bisa bermalam secara nyenyek, serta dengan berkah yang mereka mintakan engkau diberi hujan dan juga diberi rizeki”.
Antara ulama dan penguasa terdapat hubungan yang erat, karena terdorong untuk menghadapi satu musuh secara bersama; yang itu membuat mereka tidur tidak nyenyak dan membuat bingung mereka di waktu istirahat. Juga mengancam agama dan Negara mereka. Musuh yang dimaksud adalah kaum Mu’tazilah dan ahli falsafah. Tidak heran apabila para penguasa serta ulama selalu mengadakan perlawanan terhadap ahli falsafah dan Mu’tazilah. Penguasa dan ulama selalu mengancam para ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan pedang, yang mana kemudian dibalas oleh ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan perkataan yang bersifat penghinaan. Tiada satu pun dari kalangan ulama yang memfokuskan perhatiannya untuk menyerang mereka dengan akal pikiran yang netral dan kritikan yang obyektif serta berani.[8]
Tindakan penyerangan yang berasal dari kalangan penguasa dan ulama terhadap kaum intelektual yang ahli falsafah ini sempat menimbulkan suatu opini, bahwa mereka (para ahli falsafah) adalah kelompok kafir dan Zindiq. Lalu predikat tesebut juga dilontarkan oleh penguasa kepada orang-orang yang dikehendaki dari kalangan ulama dan para peneliti.
Oleh karena itu, pada tahun 488 H (1095 M), Imam Al Ghazali meninggalkan Baghdad dan pergi ke Syiria untuk merenung, membaca, dan menulis selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian, ia pindah ke Palestina untuk melakukan aktivitas yang sama dengan mengambil tempat baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa waktu di kota Iskandariah, Mesir, Imam Al Ghazali kembali ke tempat kelahirannya, Tus, pada tahun 499 H (1105 M) untuk melanjutkan aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah. Proses pengasingannya tersebut berlangsung selama 12 tahun dan, dalam masa ini, ia banyak menghasilkan berbagai karyanya yang terkenal, seperti Kitab ‘Ihya’ Ulumuddin”. Pada tahun yang sama, atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu wazir Fakhr al Mulk, Imam al Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, akan tetapi, pekerjaannya itu hanya berlangsung dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para fuquha dan mutashawwifin. Imam al Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M).[9]
Inilah gambaran singkat tentang kondisi ilmiah dan politik di masa Imam Al Ghazali, dan kita lihat kondisi ini sangat berpengaruh kepada diri sang Imam.

C.    SITUASI EKONOMI

Kita ketahui bersama bahwa Imam al Ghazali hidup pada masa pemerintahan daulah Abasiyah, persisnya pada masa dinasti Salajikah (saljuk), yang mana pada masa pemerintahan daulah Abasiyah Islam telah mencapai masa puncak keemasannya. Kemajuan pada bidang politik, ekonomi, dan pengetahuan yang luar biasa, yang bisa dikatakan kemajuannya tidak pernah ada yang menandingi oleh kerajaan manapun di dunia ini. Jadi bisa dikatakan kondisi perekonomi pada masa Imam al Ghazali sangat baik dan seimbang.
Dikatakan baik dan seimbang bukan tidak ada celah dan kelemahan dalam perekonomian barter yang mana terjadi ketidak sesuaian keinginan antara dua pihak. Lebih jauh Imam al Ghazali mengatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian barter, seseorang memerlukan usaha yang keras. Pelaku ekonomi barter harus mencari seseorang yang mempunyai keinginan yang sama dengannya. Para pelaku ekonomi barter tersebut juga akan mendapatkan kesukaran dalam menentukan harga, khususnya ketika terjadi keragaman barang dagangan, pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan.[10] Di sinilah uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang, sekalipun dalam perekonomian barter. Dengan demikian, dalam pandangan al Ghazali, uang hanya berfungsi sebagai satuan hitung dan alat tukar. Ia mengatakan bahwa zat uang itu sendiri tidak dapat memberikan manfaat. Dan ini berarti bahwa uang bukan merupakan alat penyimpan kekayaan.

D.    FUNGSI KESEJAHTERAAN SOSIAL

Al Ghazali yang menyatakan bahwa kebutuhan hidup manusia itu terdiri dari tiga[11], kebutuhan primer (darruriyyah), sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat). Teori hirarki kebutuhan ini kemudian ‘diambil’ oleh William Nassau Senior yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency), dan kebutuhan tertier (luxury). Al Ghazali juga menyatakan tentang tujuan utama dari penerepan syariah adalah masalah religi atau agama, kehidupan, pemikiran, keturunan, dan harta kekayaan yang bersangkutan dengan masalah ekonomi.
Menurut Mustafa Anas Zarqa, Imam Al-Ghazali merupakan cendekiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi kesejahteraan sosial. Dalam membahas berbagai persoalan manusia, termasuk aktivitas ekonomi, Imam al-Ghazali selalu mengacu pada konsep maslahah (kesejahteraan) sebagai tema sentralnya. Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syariah yang terletak pada perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).[12]
Pada makalah ini penulis masih kurang akan reverensi tentang kondisi ekonomi pada masa Al Ghazali, jadi penulis lebih banyak mengambil dari buku Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, yang kami baca dan pahami untuk penulis sampaikan kembali dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.
Dalam hal ini, melalui serangkaian penelitiannya terhadap berbagai ajaran Islam yang terdapat di dalam Al Qur’an dan hadis, Imam al Ghazali menyimpulkan bahwa utilitas sosial dalam Islam dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:


a.       Dharuriah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang bersifat esensial      untuk memelihara kelima prinsip tersebut di atas.
b.      Hajah,    terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi   pemeliharaan kelima prinsip di atas, tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan menghilangkan rintangan dan kesukaran hidup.
c.       Tahsimiah atau  Tazyinat. Secara khusus, kategori ini meliputi persoalan-persoalan yang tidak menghilangkan dan mengurangi kesulitan, tetapi melengkapi, menerangai, dan menghiasi hidup.
Adiwarman A. Karim dalam bukunya Pemikiran Ekonomi Seorang Skolastik Arab,2002) dikatakan; Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, Imam al Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengakibatkan berbagai kewajiban duniawi seseorang. Bahkan, pencarian berbagai aktivitas ekonomi tidak hanya diinginkan, tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitikberatkan jalan tengah dan kebenaran niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niatnya sesuai dengan aturan ilahi, aktivitas ekonomi serupa dengan ibadah.
Imam al Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari berbagai tugas kewajiban sosial (fardu kifayah) yang sudah ditetapkan Allah swt: jika hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kehidupan umat manusia akan binasa. Lebih jauh, ia mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseoarang harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan, mensejahterakan keluarga, dan membantu orang lain yang membutuhkan.[13]





E.   Permintaan, Penawaran, Harga, Laba

Bayangkan jika aktivitas perdagangan hanya mengandalkan pola barter atau kehidupan ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan tidak berkembang dan terjadinya berbagai distorsi harga tentu sangat besar. Karena itulah pemikiran tentang perlunya aktivitas perdagangan yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran-jauh sebelum munculnya pemikiran ekonomi modern-telah diungkapkan oleh para pemikir Islam.
Imam al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya. Ia menyadari bahwa aktivitas perdagangan memberikan nilai tambah terhadap barang-barang kerena perdagangan membuat barang-barang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Di dorong oleh kepentingan pribadi orang-orang, pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba, yaitu perdagangan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik. Imam al Ghazali juga menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin dan aman. Negara harus memberikan perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan perekonomian dapat tumbuh.[14]
Salah satunya adalah pandangan Abu Hamid al Ghazali (1058-1111). Mungkin cukup mengejutkan jika dia menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Maklum, ia dikenal sebagai ahli tasawuf.

Bagi al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci, dari juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar[15] Al Ghazali menyatakan:
Dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tida ada. Namun secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pande besi yang tidak dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.

Imam Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan regional. Kata Ghazali:
"Selanjutnya praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada giliran menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan dan makan oleh orang lain juga. (Ihya, III:227).

Jelaslah Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat di mana dibutuhkan
Al ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran; jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar. Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.[16]
Imam Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang (Ihya Ulumuddin,IV,110). Walaupun ia tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang. Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak (Ihya Ulumuddin, II:75-6, 84).
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan sedikit pandangan akan keterbatasan mekanisme pasar dalam Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba.  Pada mekanisme pasar ini telah menjadi sebuah mekanisme resmi pembunuh manusia apabila tidak ada pemegang kebijakan harga, dalam hal ini yang penulis maksud adalah pemerintah. Contoh ini memang ekstrem, tetapi sering hadir di masyarakat dalam berbagai variasi. Oleh karena itu, menurut penulis  sebebarnya Islam sudah memberikan arahan kepada pemeluknya agar memperhatikan kondisi sosio-ekonomi tempat ia tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang yang beriman, manakala ia tidur kekenyangan sementara tetangga sebelahnya kelaparan dan ia tahu akan hal itu.” (HR Tabrani & Baihaqi).
Jelaslah bahwa terdapat sejumlah segmen masyarakat yang tidak dapat ikut bermain dalam pasar dan karenanya, tidak akan tersentuh oleh mekanisme ini lantaran tidak punya uang untuk membayar harga. Mereka yang tidak mampu membayar harga, merupakan korban dari keganasan pasar.

Oleh karena itu, mekanisme pasar dan harga harus dilengkapi dengan intervensi pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan segmen masyarakat yang terpaksa tidak dapat berpartisipasi di dalamnya agar dapat hidup sejahtera sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.

F.     PAJAK

Menurut Imam al Ghazali, apabila keadaan Negara sedang membutuhkan tentara untuk menjaga dan melindungi wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan Negara tidak mencukupi, pemerintah berhak memungut pajak dari rakyatnya yang mampu. Dalam hal ini, ia mensyaratkan bahwa pemerintahan Negara itu merupakan pemerintahan yang kredibel, kondisi keuangan Negara benar-benar dalam keadaan kosong, dan kebijakan pajak ini hanya khusus dikenakan pada kondisi tersebut, yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.[17]


KESIMPULAN


Positioning sistem ekonomi adalah usaha membandingkan perbedaan bentuk antara sistem ekonomi yang satu dan lainnya. Hal ini merupakan masalah yang selalu menarik untuk dikaji di tengah pergolakan ideologi di dunia saat ini. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengangkat perbedaan berdasarkan falsafah hidup, pandangan dan kebijakan antar sistem ekonomi dengan mengangkat tema pokok yang selalu menjadi fokus dari tiap sistem ekonomi. Meskipun saat ini masih terjadi dikotomis antara sistem kapitalis dan sosialis, namun kita seharusnya memandang lebih luas dan menyadari bahwa sistem ekonomi di dunia bukan hanya terdiri dari dua sistem tersebut agar kita tidak terjebak dalam dua kutub dikotomis tersebut.
Salah satu usaha untuk mencapai kebahagiaan dunia terutama memenuhi kebutuhan materiil, manusia harus bekerja. Dalam Al Qur'an surat Al Jum'ah : 10 Allah Swt. Memerintahkan kaum muslimin untuk bekerja di samping beribadah. Kaum muslimin boleh memilih jenis pekerjaan apapun yang diinginkan sesuai bakat dan minat masing-masing, sepanjang tidak mengandung unsur haram.  Nilai-nilai sosial keadilan, kebenaran, kejujuran, persaudaraan, haruslah tertanam pada pelaku ekonomi kaum muslimin agar sesuai dengan nilai-nilai moral yang merupakan prinsip dasar yang melandasi semua sikap dan tindakan.
Islam mengatur bentuk-bentuk transaksi seperti jual beli, hutang, sirkah, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan sifat agama Islam yang sempurna, sampai-sampai masalah yang menjadi kajian ekonomi mikro sekalipun sudah dibahas dalam Al Qur'an dan Hadist. Disinilah kewajiban peran pemerintah untuk mengatur berlangsungnya kehidupan bermasyarakat agar terjadi keselarasan dalam mencapai tujuan bersama. Salah satu instrumen untuk mengatur ekonomi makro adalah dengan kebijakan fiskal . Islam memiliki pos-pos baik pemasukan ataupun pengeluaran keuangan negara yang sifatnya khas seperti zakat, fa'i, ghanimah, kharaj, kums, dan lain-lain, di samping adanya dharibah (pajak temporal) yang merupakan hak ijtihad pemerintah. Selain dengan sistem fiskal pengaturan ekonomi makro dalam Islam adalah dengan sistem moneter. Dalam sejarah Islam sistem moneter Islam adalah standar emas dengan dinar dan dirham. Stabilitas moneter dengan dinar dan dirham sudah teruji dalam sejarah. Dalam Islam juga diatur masalah perdagangan internasional dengan non tarif (pasar bebas) seperti yang dilakukan Nabi Mohammad Saw dan pengenaan tarif ekpor impor sebagimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Kattab, embargo ekonomi sebagai alat politik juga pernah dilakukan Rasulullah.
Masalah ekonomi sebagai masalah muamalat selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Bentuk-bentuk kelembagaan ekonomi dan jenis-jenis transaksi makin beragam, berbeda dengan situasi zaman Rasulullah Saw. Untuk mengatasi hal ini Allah Swt memberikan kebebasan untuk berijtihad terhadap masalah ekonomi yang secara zahir tidak diatur dalam Al Qur'an dan Hadist. Pemerintah boleh mengembangkan kebijakan sesuai tuntutan situasi dan kondisi, misalnya program kemitraan, bantuan modal untuk pengusaha kecil, pendidikan murah bagi keluarga miskin, dan sebagainya.















                                 


 [1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta, Ekonisia, Kampus FE UII, 2004. hlm.152.
[2] Sulaiman Dunya, Pandangan Hidup Imam Al Ghazali, Surabaya, Pustaka Hikmah Perdana,    2002, hlm.36-37.
 [3] Sulaiman Dunya, Pandangan Hidup Imam Al GhazaLI, .hlm.37.
 [4] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (dari masa klasik hingga kontemporer), Jakarta Pustaka Asatruss, cet.I, 2005.hlm.121.
 [5] Sulaiman Dunya, Pandangan Hidup Imam Al Ghazali, hlm.39.
 [6] Sulaiman Dunya, Pandangan Hidup Imam Al Ghazali, hlm.29.
 [7] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.122.
 [8] Sulaiman Dunya, Pandangan Hidup Imam Al Ghazali, .hlm.32
 [9] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.122-23.
 [10] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.127.
 [11] Muhammad Imaduddin, Artikel; Kontribusi Para Ilmuan Muslim Terhad Ilmu   Ekonomi,Desember, 2006.
 [12]   Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, .hlm.123.
 [13] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.124.
 [14] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.124.
 [15] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Ekonisia, 2004, hlm.152.
 [16] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Ekonisia, 2004, hlm.153-154.
 [17] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm.130.