BAB I
PENDAHULUAN
Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan
tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku
sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah
pemikiran ekonomi Islam klasik.
Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam
adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul, Muslim Economic
Thinking, A Survey of Contemporary Literature , dan Artikelnya berjudul History
of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun
1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif.
Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual
yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam
mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam
tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern.
Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik
telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif,
tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis,
seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali
(w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus
membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan
Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H),
Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan
Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan
Asy-Syabany. (w.234 H).
Permasalahan dari beberapa tokoh pemikir muslim di
atas, yang akan kami paparkan dalam makalah ini adalah Al Ghazali, Ibnu
Taimiyyah dan Nizamul mulk. Kami mulai dari biografi singkat sampai
pemikiran-pemikiran ekonomi.
BAB II
PEMIKIRAN
EKONOMI AL GHAZALI
A. PEMIKIRAN PANDANGAN AL GHAZALI TERHADAP
EKONOMI
Terkadang penulis menganggap tidak
perlu (lagi) untuk mnyebutkan tentang waktu yang tepat dalam mendefinisikan
masa dalam kehidupan Ghazali, selama tema bahasan dalam tulisan ini hanya
bersifat untuk mengkaji tentang seputar pemikiran beliau. Akan tetapi, kami
masih tetap memiliki pandangan lain untuk memberikan sedikit perhatian tentang
hal tersebut (masa kehidupan beliau). Sebab, bagaimanapun juga unsur waktu itu
bisa memberikan penjelasan terhadap penilaian dari sisi ide dan atau pemikiran
tentang figur kita ini Yakni Imam Al-Ggazali).
Abū Hamid al-Ghazali dilahirkan pada
tahun 450 Hijrah
di desa Ghazalah, di pinggir kota Tus,
yang terletak pada hari ini di bahagian timur laut negara Iran, berdekatan dengan
kota Mashhad, ibu kota wilayah Kahorasan. Karena ayahnya penjual benang, ia diberi nama
panggilan Ghazali, yang dalam arti bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai
Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.[1]
Ayah Imam Al Ghazali sendiri adalah
seorang fakir yang shalih. Beliau tidak mau makan kecuali dari karya tangannya
(hasil kerjanya) sendiri, yakni dengan bekerja memintal benang. Di waktu kosong
(tidak sedang bekerja), beliau suka mengaji kesalah seorang ulama dan duduk
bersamanya. Lalu memberikan pelayanan kepadanya dan bersungguh-sungguh untuk
memperbaiki hubungan dengannya serta berinfak kepada ulama tersebut semampunya.
Beliau apabila mendengar nasihat dan wejangan dari para ulama khususnya ulama
yang biasa beliau kungjungi selalu menangis dan berdoa kepada Allah; agar anak
beliau dijadikan oleh Allah sebagai orang alim yang bisa memberikan ceramah
(berdakwah).[2]
Hanya saja, kehendak Allah tidak
memberinya kesempatan untuk menyaksikan apa yang menjadi harapannya itu. Namun
demikian, harapannya telah terkabulkan dan doanya juga diterima oleh Allah.
Sungguh beliau meninggal dunia di saat Abu Hamid dalam keadaan masih sangat
belia. Sedangkan ibu dari Hujjatul Islam
(Imam Al Ghazali) ini, sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan
takdir telah membuatnya tidak dikenal masa. Akan tetapi, beliau (sang Ibu)
menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh suaminya (ayah Imam Al Ghazali)
ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit dari ufuk kejayaan dan
keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang terhormat di
bidang ilmu pengetahuan.[3]
Sejak muda, Imam Al-Ghazali sangat
antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan
fiqh di kota Tus kepada seorang ‘alim yang bernama asy-Syaikh Ahmad ibn
Muhammad ar-Radhakani, kemudian Dia juga telah mempelajari ilmu nahwu dan ilmu hisab,
serta telah berjaya menghafal isi al-Quran,
sedangkan adiknya yang bernama Ahmad itu, sejak masa mudanya lagi sudah mula
cenderung kepada ilmu tasawuf. Kemudian Dia pergi ke kota Jurjan untuk belajar
dasar-dasar Ushul Fiqih. Setelah kembali ke kota Tus selama beberapa waktu, ia
pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Di kota ini, Imam
Al-Ghazali belajar kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, sampai
yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H (1085 M).[4]
Murid Juawaini ini pada masa kecilnya
belajar ilmu fiqih, sekalipun tidak mendalam di kotanya; yaitu di Thus, kepada
seorang guru bernama Ahmad bin Muhammad Ar Radzkani Ath Thusi. Di tanah Thus
ini, guru tersebut merupakan guru permulaan bagi Imam Al Ghazali (Ustad Ridha’,
Abu Hamid Al Ghazali, hlm.6). Adapun
guru yang utama bagi sang Imam di wilayah Thus adalah Yusuf An Nasaj yang gemar
dengan ilmu tasawuf dan mau menjalaninya. Yang kemudian ia kenal sebagai Imam
Al Haramain.[5]
B.
SITUASI POLITIK
Sungguh persengketaan agama di atas ufuk kota itu pada masa
kehidupan Al Ghazali masih beterbangan. Yang mana kesemuanya itu disebabkan
oleh junlah masyarakat beragam Kristen di sana juga banyak. Begitu pula dengan
pengikut aliran (madzhab) Syi’ah dari kelompok kaum Muslimin yang juga tumbuh
subur di sana (Dr. Zuwairi, Hayatul AL
Ghazali). Para ulama saat itu (yakni pada masa hidupnya Iman Al Ghazali)
cenderung untuk serius di dalam menuntut ilmu. Hingga pada saat itu terdapat
gerakan ilmiah yang sangat radikal dan berkelanjutan. Hanya saja, sebagian dari
mereka menuntut ilmu bukan atas dasar ingin mendapatkan ilmu tersebut. Akan
tetapi, sengaja hal itu dilakukan sabagai usaha untuk mendekatkan diri kepada
para pemimpin (penguasa). Oleh karena itu, mereka terlihat sangat serius di
dalam menuntut ilmu, hingga membuat hati para elit condong dan merasa senang kepada mereka. Walaupun tujuan
mereka dalam menambah ilmu pengetahuan ini lebih di dasarkan pada usaha untuk
meraih kedudukan, ketenaran dan nama harum; kecuali orang-orang yang
mendapatkan pemeliharaan dari Allah SWT.[6]
Ketika Imam Al Ghazali berkunjung ke Baghdad, ibu kota
Daulah Abbasiyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham al Mulk. Darinya, Imam Al
Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada tahun 483 H
(1090 M), Al Ghazali diangkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya
ini dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masa itu
menjadikannya sebagai referensi utama.[7]
Dalam waktu yang sama, para elit itu membutuhkan untuk menjalin persahabatan dan guna mendapat
pertolongan dari para ulama. Sebab pada saat itu agama merupakan sarana utama
untuk mendirikan istana raja (kingdom)
atau untuk menghancurkannya. Perkumpulan elit
politik dengan para ulama tersebut dimaksudkan agar tujuan mereka bisa
diselubungi dengan agama, hingga orang-orang awam akan menganggap, bahwa mereka
terhindar dari kerakusan yang bersifat pribadi. Sungguh elit politik telah mengetahui hal itu, dan bagaimanakah pengaruh
agama terhadap masyarakat awam serta kaum intelektual. Mereka lebih cenderung
menerima ajakan agama daripada segala motivasi yang lain.
Oleh karena itu, kaum Salajiqah
(penguasa yang tengah memimpin pada saat itu) mendirikan beberapa Madrasah
di Baghdad, Naisabur, untuk mempelajari beberapa pedoman dasar Ahlu Sunnah. Nizam al Mulk yang memiliki
jasa terbesar dalam membangun Madrasah diisukan dengan berita yang miring,
serta dilaporkan kepada Syah (raja), seperti yang dikutip oleh Dr Zaki Mubarok
dalam kitab AL Akhlaq dikatakan: “Bahwa sesungguhnya harta yang dipersiapkan
oleh Nizam al Mulk untuk membangun Madrasah (sekolah dimaksud) hampir menyamai
dengan dana yang digunakan bagi tentara yang benderanya dipagari dengan symbol Al Qusthaniyah (Konstantinopel).”.
hingga Nizam al Mulk harus menjawab kepada raja: “Sesungguhnya aku menyediakan
tentara untukmu yang boleh disebut dengan tentara malam. Dimana apabila
tentaramu telah tidur di malam hari, maka tentara malam ini akan segera
melakukan shalat dengan berdiri di hadapan Rabbnya, lalu mereka mencucurkan air
mata seraya berdoa dengan lidah mendoakan engkau dan juga kepada bala tentaramu. Engkau dan tentaramu
berada di bawah perlindungan mereka. Dengannya engkau bisa hidup tentram, dan
dengan doa mereka engkau bisa bermalam secara nyenyek, serta dengan berkah yang
mereka mintakan engkau diberi hujan dan juga diberi rizeki”.
Antara ulama dan penguasa terdapat hubungan yang erat,
karena terdorong untuk menghadapi satu musuh secara bersama; yang itu membuat
mereka tidur tidak nyenyak dan membuat bingung mereka di waktu istirahat. Juga
mengancam agama dan Negara mereka. Musuh yang dimaksud adalah kaum Mu’tazilah
dan ahli falsafah. Tidak heran apabila para penguasa serta ulama selalu
mengadakan perlawanan terhadap ahli falsafah dan Mu’tazilah. Penguasa dan ulama
selalu mengancam para ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan pedang, yang
mana kemudian dibalas oleh ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan perkataan
yang bersifat penghinaan. Tiada satu pun dari kalangan ulama yang memfokuskan
perhatiannya untuk menyerang mereka dengan akal pikiran yang netral dan
kritikan yang obyektif serta berani.[8]
Tindakan penyerangan yang berasal dari kalangan penguasa dan
ulama terhadap kaum intelektual yang ahli falsafah ini sempat menimbulkan suatu
opini, bahwa mereka (para ahli falsafah) adalah kelompok kafir dan Zindiq. Lalu
predikat tesebut juga dilontarkan oleh penguasa kepada orang-orang yang
dikehendaki dari kalangan ulama dan para peneliti.
Oleh karena itu, pada tahun 488 H (1095 M), Imam Al Ghazali
meninggalkan Baghdad dan pergi ke Syiria untuk merenung, membaca, dan menulis
selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian, ia pindah ke Palestina untuk melakukan
aktivitas yang sama dengan mengambil tempat baitul Maqdis. Setelah menunaikan
ibadah haji dan menetap beberapa waktu di kota Iskandariah, Mesir, Imam Al
Ghazali kembali ke tempat kelahirannya, Tus, pada tahun 499 H (1105 M) untuk
melanjutkan aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah. Proses pengasingannya
tersebut berlangsung selama 12 tahun dan, dalam masa ini, ia banyak
menghasilkan berbagai karyanya yang terkenal, seperti Kitab ‘Ihya’ Ulumuddin”. Pada tahun yang sama,
atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu wazir Fakhr al Mulk, Imam al Ghazali
kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, akan tetapi, pekerjaannya
itu hanya berlangsung dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan
sebuah madrasah bagi para fuquha dan mutashawwifin. Imam al Ghazali memilih
kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan ilmu
pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember
1111 M).[9]
Inilah gambaran singkat tentang kondisi ilmiah dan politik
di masa Imam Al Ghazali, dan kita lihat kondisi ini sangat berpengaruh kepada
diri sang Imam.
C.
SITUASI EKONOMI
Kita ketahui bersama bahwa Imam al Ghazali hidup pada masa
pemerintahan daulah Abasiyah, persisnya pada masa dinasti Salajikah (saljuk),
yang mana pada masa pemerintahan daulah Abasiyah Islam telah mencapai masa
puncak keemasannya. Kemajuan pada bidang politik, ekonomi, dan pengetahuan yang
luar biasa, yang bisa dikatakan kemajuannya tidak pernah ada yang menandingi
oleh kerajaan manapun di dunia ini. Jadi bisa dikatakan kondisi perekonomi pada
masa Imam al Ghazali sangat baik dan seimbang.
Dikatakan baik dan seimbang bukan tidak ada celah dan
kelemahan dalam perekonomian barter yang mana terjadi ketidak sesuaian
keinginan antara dua pihak. Lebih jauh Imam al Ghazali mengatakan bahwa untuk
mewujudkan perekonomian barter, seseorang memerlukan usaha yang keras. Pelaku
ekonomi barter harus mencari seseorang yang mempunyai keinginan yang sama
dengannya. Para pelaku ekonomi barter tersebut juga akan mendapatkan kesukaran
dalam menentukan harga, khususnya ketika terjadi keragaman barang dagangan,
pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan.[10] Di
sinilah uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang, sekalipun dalam
perekonomian barter. Dengan demikian, dalam pandangan al Ghazali, uang hanya
berfungsi sebagai satuan hitung dan alat tukar. Ia mengatakan bahwa zat uang
itu sendiri tidak dapat memberikan manfaat. Dan ini berarti bahwa uang bukan
merupakan alat penyimpan kekayaan.
D.
FUNGSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
Al Ghazali yang menyatakan bahwa kebutuhan hidup
manusia itu terdiri dari tiga[11],
kebutuhan primer (darruriyyah), sekunder (hajiat), dan kebutuhan
mewah (takhsiniyyat). Teori hirarki kebutuhan ini kemudian ‘diambil’
oleh William Nassau Senior yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri
dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency), dan kebutuhan tertier
(luxury). Al Ghazali juga menyatakan tentang tujuan utama dari penerepan
syariah adalah masalah religi atau agama, kehidupan, pemikiran, keturunan, dan
harta kekayaan yang bersangkutan dengan masalah ekonomi.
Menurut Mustafa Anas Zarqa, Imam Al-Ghazali merupakan
cendekiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi kesejahteraan sosial.
Dalam membahas berbagai persoalan manusia, termasuk aktivitas ekonomi, Imam al-Ghazali
selalu mengacu pada konsep maslahah (kesejahteraan) sebagai tema sentralnya.
Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syariah yang terletak pada
perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl),
dan harta (mal).[12]
Pada makalah ini penulis masih kurang akan reverensi tentang
kondisi ekonomi pada masa Al Ghazali, jadi penulis lebih banyak mengambil dari
buku Euis Amalia, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, yang kami baca dan pahami untuk penulis sampaikan kembali
dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.
Dalam hal ini, melalui serangkaian penelitiannya terhadap
berbagai ajaran Islam yang terdapat di dalam Al Qur’an dan hadis, Imam al
Ghazali menyimpulkan bahwa utilitas sosial dalam Islam dapat dibagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
a.
Dharuriah, terdiri dari seluruh
aktivitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk memelihara kelima prinsip tersebut
di atas.
b. Hajah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal
yang tidak vital bagi pemeliharaan
kelima prinsip di atas, tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan menghilangkan
rintangan dan kesukaran hidup.
c. Tahsimiah atau Tazyinat. Secara khusus,
kategori ini meliputi persoalan-persoalan yang tidak menghilangkan dan
mengurangi kesulitan, tetapi melengkapi, menerangai, dan menghiasi hidup.
Adiwarman A. Karim dalam bukunya Pemikiran Ekonomi Seorang Skolastik Arab,2002) dikatakan; Walaupun
keselamatan merupakan tujuan akhir, Imam al Ghazali tidak ingin bila pencarian
keselamatan ini sampai mengakibatkan berbagai kewajiban duniawi seseorang.
Bahkan, pencarian berbagai aktivitas ekonomi tidak hanya diinginkan, tetapi
merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitikberatkan jalan
tengah dan kebenaran niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niatnya sesuai
dengan aturan ilahi, aktivitas ekonomi serupa dengan ibadah.
Imam al Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai
bagian dari berbagai tugas kewajiban sosial (fardu kifayah) yang sudah
ditetapkan Allah swt: jika hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh
dan kehidupan umat manusia akan binasa. Lebih jauh, ia mengidentifikasi tiga
alasan mengapa seseoarang harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan, mensejahterakan keluarga, dan
membantu orang lain yang membutuhkan.[13]
E.
Permintaan,
Penawaran, Harga, Laba
Bayangkan jika aktivitas perdagangan hanya mengandalkan pola
barter atau kehidupan ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan tidak
berkembang dan terjadinya berbagai distorsi harga tentu sangat besar. Karena
itulah pemikiran tentang perlunya aktivitas perdagangan yang ditentukan oleh
hukum permintaan dan penawaran-jauh sebelum munculnya pemikiran ekonomi
modern-telah diungkapkan oleh para pemikir Islam.
Imam al Ghazali menyatakan secara jelas tentang mutualitas
dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja
menurut daerah dan sumber daya. Ia menyadari bahwa aktivitas perdagangan
memberikan nilai tambah terhadap barang-barang kerena perdagangan membuat barang-barang
dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat. Di dorong oleh kepentingan
pribadi orang-orang, pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari
laba, yaitu perdagangan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan
merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan
baik. Imam al Ghazali juga menyebutkan perlunya rute perdagangan yang terjamin
dan aman. Negara harus memberikan perlindungan sehingga pasar dapat meluas dan
perekonomian dapat tumbuh.[14]
Salah satunya adalah pandangan Abu Hamid al Ghazali
(1058-1111). Mungkin cukup mengejutkan jika dia menyajikan penjabaran yang
rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya
bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Maklum, ia dikenal sebagai
ahli tasawuf.
Bagi al Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan
alami”. Secara rinci, dari juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar[15] Al
Ghazali menyatakan:
Dapat
saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai
besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tida ada. Namun secara alami,
mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang
kayu membutuhkan makan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau
sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula
orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu
pihak dan tempat penyimpanan hasil sesuai dengan kebutuhan masing-masing
sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu dan pande besi yang tidak
dapat langsung melakukan barter juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di
pasar juga tidak ditemukan orang yang melakukan barter, ia akan menjual pada
pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai
persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal
ini berlaku untuk setiap jenis barang.
Imam Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan perdagangan
regional. Kata Ghazali:
"Selanjutnya
praktek-praktek ini terjadi di berbagai kota dan negara. Orang-orang melakukan
perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan
membawanya ke tempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke
kota-kota di mana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada
giliran menimbulkan kebutuhan alat transportasi. Terciptalah kelas pedagang
regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para
pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat
keuntungan dan makan oleh orang lain juga. (Ihya, III:227).
Jelaslah Imam Ghazali menyadari kesulitan sistem barter,
perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya
setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan nilai tambah
dengan menyediakannya pada waktu dan tempat di mana dibutuhkan
Al ghazali juga memperkenal teori permintaan dan penawaran;
jika petani tidak mendapatkan pembeli, ia akan menjualnya pada harga yang lebih
murah, dan harga dapat diturunkan dengan menambah jumlah barang di pasar.
Ghazali juga memperkenalkan elastisitas permintaan, ia mengidentifikasi
permintaan produk makanan adalah inelastis, karena makanan adalah kebutuhan
pokok. Oleh karena dalam perdagangan makanan motif mencari keuntungan yang
tinggi harus diminimalisir, jika ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari
perdagangan, selayaknya dicari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan
pokok.[16]
Imam Ghazali dan juga para pemikir pada zamannya ketika
membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan.
Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi
Ghazali keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis,
dan ancaman keselamatan diri si pedagang (Ihya Ulumuddin,IV,110). Walaupun ia
tidak setuju dengan keuntungan yang berlebih untuk menjadi motivasi pedagang.
Bagi Ghazali keuntunganlah yang menjadi motivasi pedagang. Namun bagi Ghazali
keuntungan sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak (Ihya Ulumuddin,
II:75-6, 84).
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan sedikit
pandangan akan keterbatasan mekanisme pasar dalam Permintaan, Penawaran, Harga,
dan Laba. Pada mekanisme pasar ini telah
menjadi sebuah mekanisme resmi pembunuh manusia apabila tidak ada pemegang
kebijakan harga, dalam hal ini yang penulis maksud adalah pemerintah. Contoh
ini memang ekstrem, tetapi sering hadir di masyarakat dalam berbagai variasi.
Oleh karena itu, menurut penulis
sebebarnya Islam sudah memberikan arahan kepada pemeluknya agar
memperhatikan kondisi sosio-ekonomi tempat ia tinggal. Rasulullah saw bersabda,
“Bukanlah orang yang beriman, manakala ia tidur kekenyangan sementara tetangga
sebelahnya kelaparan dan ia tahu akan hal itu.” (HR Tabrani & Baihaqi).
Jelaslah bahwa terdapat sejumlah segmen masyarakat yang
tidak dapat ikut bermain dalam pasar dan karenanya, tidak akan tersentuh oleh
mekanisme ini lantaran tidak punya uang untuk membayar harga. Mereka yang tidak
mampu membayar harga, merupakan korban dari keganasan pasar.
Oleh karena itu, mekanisme pasar dan harga harus dilengkapi
dengan intervensi pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan segmen
masyarakat yang terpaksa tidak dapat berpartisipasi di dalamnya agar dapat
hidup sejahtera sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
F.
PAJAK
Menurut Imam al Ghazali, apabila keadaan Negara sedang
membutuhkan tentara untuk menjaga dan melindungi wilayahnya dari segala macam
ancaman, sementara perbendaharaan Negara tidak mencukupi, pemerintah berhak
memungut pajak dari rakyatnya yang mampu. Dalam hal ini, ia mensyaratkan bahwa
pemerintahan Negara itu merupakan pemerintahan yang kredibel, kondisi keuangan
Negara benar-benar dalam keadaan kosong, dan kebijakan pajak ini hanya khusus
dikenakan pada kondisi tersebut, yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.[17]
KESIMPULAN
Positioning sistem ekonomi adalah usaha
membandingkan perbedaan bentuk antara sistem ekonomi yang satu dan lainnya. Hal
ini merupakan masalah yang selalu menarik untuk dikaji di tengah pergolakan
ideologi di dunia saat ini. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengangkat
perbedaan berdasarkan falsafah hidup, pandangan dan kebijakan antar sistem
ekonomi dengan mengangkat tema pokok yang selalu menjadi fokus dari tiap sistem
ekonomi. Meskipun saat ini masih terjadi dikotomis antara sistem kapitalis dan
sosialis, namun kita seharusnya memandang lebih luas dan menyadari bahwa sistem
ekonomi di dunia bukan hanya terdiri dari dua sistem tersebut agar kita tidak
terjebak dalam dua kutub dikotomis tersebut.
Salah satu usaha untuk
mencapai kebahagiaan dunia terutama memenuhi kebutuhan materiil, manusia harus
bekerja. Dalam Al Qur'an surat Al Jum'ah : 10 Allah Swt. Memerintahkan kaum
muslimin untuk bekerja di samping beribadah. Kaum muslimin boleh memilih jenis
pekerjaan apapun yang diinginkan sesuai bakat dan minat masing-masing,
sepanjang tidak mengandung unsur haram.
Nilai-nilai sosial keadilan, kebenaran, kejujuran, persaudaraan,
haruslah tertanam pada pelaku ekonomi kaum muslimin agar sesuai dengan nilai-nilai
moral yang merupakan prinsip dasar yang melandasi semua sikap dan tindakan.
Islam mengatur
bentuk-bentuk transaksi seperti jual beli, hutang, sirkah, dan lain-lain. Hal
ini menunjukkan sifat agama Islam yang sempurna, sampai-sampai masalah yang
menjadi kajian ekonomi mikro sekalipun sudah dibahas dalam Al Qur'an dan
Hadist. Disinilah kewajiban peran pemerintah untuk mengatur berlangsungnya
kehidupan bermasyarakat agar terjadi keselarasan dalam mencapai tujuan bersama.
Salah satu instrumen untuk mengatur ekonomi makro adalah dengan kebijakan
fiskal . Islam memiliki pos-pos baik pemasukan ataupun pengeluaran keuangan
negara yang sifatnya khas seperti zakat, fa'i, ghanimah, kharaj, kums, dan
lain-lain, di samping adanya dharibah (pajak temporal) yang merupakan hak
ijtihad pemerintah. Selain dengan sistem fiskal pengaturan ekonomi makro dalam
Islam adalah dengan sistem moneter. Dalam sejarah Islam sistem moneter Islam
adalah standar emas dengan dinar dan dirham. Stabilitas moneter dengan dinar
dan dirham sudah teruji dalam sejarah. Dalam Islam juga diatur masalah
perdagangan internasional dengan non tarif (pasar bebas) seperti yang dilakukan
Nabi Mohammad Saw dan pengenaan tarif ekpor impor sebagimana yang dilakukan
Khalifah Umar bin Kattab, embargo ekonomi sebagai alat politik juga pernah dilakukan
Rasulullah.
Masalah
ekonomi sebagai masalah muamalat selalu berkembang mengikuti perkembangan
zaman. Bentuk-bentuk kelembagaan ekonomi dan jenis-jenis transaksi makin
beragam, berbeda dengan situasi zaman Rasulullah Saw. Untuk mengatasi hal ini Allah
Swt memberikan kebebasan untuk berijtihad terhadap masalah ekonomi yang secara
zahir tidak diatur dalam Al Qur'an dan Hadist. Pemerintah boleh mengembangkan
kebijakan sesuai tuntutan situasi dan kondisi, misalnya program kemitraan,
bantuan modal untuk pengusaha kecil, pendidikan murah bagi keluarga miskin, dan
sebagainya.