24 Apr. 2012

--- Manajemen Islam ---



PENDAHULUAN

Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. “Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan”[1][1]. Mulai dari urusan terkecil seperti mengatur urusan rumah tangga sampai dengan urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah Negara, semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif.

Pendidikan Agama Islam dengan berbagai jalur, jenjang, dan bentuk yang ada seperti pada jalur pendidikan formal ada jenjang pendidikan dasar yang berbentuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), jenjang pendidikan menengah ada yang berbentuk Madrasah Alyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan pada jenjang pendidikan tinggi terdapat begitu banyak Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan berbagai bentuknya ada yang berbentuk Akademi, Sekolah Tinggi, Institut  dan Universitas.

Jalur Pendidikan Informal seperti pendidikan yang diselenggarakan di dalam keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kesemuanya itu perlu pengelolaan atau manajemen yang sebaik-baiknya, sebab jika tidak bukan hanya gambaran negatif tentang pendidikan Islam yang ada pada masyarakat akan tetap melekat dan sulit dihilangkan bahkan mungkin Pendidikan Islam yang hak itu akan hancur oleh kebathilan yang dikelola dan tersusun rapi yang berada di sekelilingnya, sebagaimana dikemukakan Ali bin Abi Thalib :”kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi akan dihancurkan oleh kebathilan yang tersusun rapi”

Dalam hal ini juga membahas Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan hal yang penting dalam persepktif umum  ,Investasi dalam pengembangan sumber daya manusia merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas produktif dari manusia. Dengan sumber daya manusia yang baik, organisasi bisnis akan memiliki kekuatan kompetitif. Keunggulan kompetitif merupakan posisi unik yang dikembangkan perusahaan dalam menghadapi para pesaing, bahkan organisasi dapat mengungguli mereka. Untuk itu perlu diterjemahkan berbagai strategi, kebijakan dan praktik MSDM menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Oleh karena itu tidak salah kiranya jika agenda selanjutnya dalam era kompetitif adalah sumber daya manusia.
Meraih keunggulan kompetitif tersebut, pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi merupakan suatu paradigma baru. MSDM yang berbasis kompetensi meyakinkan bahwa organisasi memiliki orang dengan kepemimpinan yang tepat, mengetahui apa yang akan dilakukan untuk semua informasi yang diterima dan kompetensi yang dibutuhkan untuk keberhasilan organisasi.
Pemikiran bahwa kompetensi menjadi wahana untuk komunikasi tentang nilai (values) dalam organisasi mendorong kita untuk sampai pada kesimpulan bahwa pendekatan ini bermanfaat untuk manajemen SDM khususnya untuk merealisasikan budaya organisasi yang menghargai inisiatif, dan berani mengambil resiko. Karakteristik kompetensi dan keterkaitan penerapannya dengan seleksi, perencanaan suksesi, pengembangan, sistem penghargaan dan manajemen kinerja sangat membantu keberhasilan organisasi dan individu.
Perubahan paradigma dari persaingan berdasarkan materi menjadi persaingan berdasarkan pengetahuan menuntut organisasi untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Sumber daya manusia harus kreatif dan inovatif dalam merespon lingkungan yang berubah. Pemberdayaan adalah salah satu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia dengan pemberian tanggung jawab dan kewenangan terhadap mereka yang nantinya diharapkan dapat memungkinkan mereka mencapai kinerja yang lebih tinggi di era yang selalu berubah ini.
Respon perusahaan terhadap perubahan dapat dimulai dengan memformulasikan kembali visi, misi dan nilai-nilai korporat, yang kemudian diikuti oleh perubahan strategi perusahaan, struktur organisasi, sistem dan prosedur, staffing, keahlian, dan gaya kepemimpinan serta pembuatan keputusan. Hal ini berkaitan dengan revitalisasi sumber daya manusia. Pengeloaan sumber daya manusia berbasis kompetensi merupakan suatu tren baru dalam revitalisasi tersebut. Dengan pendekatan kompetensi itu, sumber daya manusia dilihat sebagai aset yang berharga dengan keunikan yang perlu dikembangkan menuju era human capital yang sesungguhnya.
Era human capital menghendaki lebih memperlakuan manusia sebagai aset yang berharga dibandingkan sebagai biaya. Organisasi harus memanusiakan manusia sebagai elemennya, bukannya dehumanizes.
Aspek-aspek dalam pengembangan sumber daya manusia melingkupi beberapa hal yang cukup luas dalam organisasi. Werner dan DeSimone (2009:4) mendefinisikan pengembangan sumber daya manusia (human resources development) sebagai serangkaian aktivitas yang sistematis dan terencana yang dirancang oleh organisasi untuk memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk mempelajari keahlian yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan kerja saat ini dan yang akan datang.
Pengembangan sumber daya manusia tersebut setidak-tidaknya meliputi kepemimpinan transformasional, manajemen perubahan, motivasi, manajemen waktu, manajemen stres, program pemdampingan karyawan, pembentukan tim, pengembangan organisasi, pengembangan karir, serta pelatihan dan pengembangan. Aspek-aspek tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja tempat kerja.
Konsep pengembangan sumber daya manusia telah berkembang cukup lama. Perkembangan itu dapat dijejaki dari program pelatihan pemagangan pada abad kedelapanbelas pada industri kecil. Kemudian berkembang menjadi program pendidikan vokasi yang diikuti dengan program pelatihan mekanikal atau dikenal dengan factory scholls pada waktu revolusi industri. Setelah itu berkembang program pelatihan bagi pekerja yang semiterdidik dan tidakterdidik. Kondisi pekerja pada masa itu mendorong lahirnya gerakan hubungan manusia (human relation) yang melihat manusia sebagai sesuatu yang kompleks, bukan sekedar sama dengan faktor produksi lain. Setelah Perang Dunia II, berkembanglah program-prgoram pelatihan baru dalam organisasi yang besar, seperti Training Within Industry (TWI). Sejak tahun 1960-an dan 1970-an muncullah program-program pelatihan yang lebih profesional dalam ruangan kelas. Sedemikian pentingnya, organisasi telah memasukkan dan merumuskan pengembangan sumber daya manusia ini dalam perencanaan strategisnya.
Dari sekian banyak aspek pengembangan sumber daya manusia dan melihat perkembangannya, pelatihan merupakan satu aspek yang menempati posisi yang penting. Makalah ini akan meninikberatkan pembahasan pada aspek pelatihan. Sebagai suatu upaya Islamisasi pengetahuan, makalah ini memperkenalkan perspektif syariah Islam dalam hal pelatiha

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN MANAJEMEN ISLAM

Dari segi bahasa manajemen berasal dari bahasa Inggris yang merupakan terjemahan langsung dari kata management yang berarti pengelolaan, ketata laksanaan, atau tata pimpinan. Sementara dalam kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Shadily (1995 : 372) management berasal dari akar kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola, dan memperlakukan.
“Ramayulis  menyatakan bahwa pengertian yang sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan)”[2][2]. Kata ini merupakan derivasi dari kata dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT :

يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَآءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةِ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Artinya : Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (Al Sajdah : 05).
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah SWT telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. “Sementara manajemen menurut istilah adalah proses mengkordinasikan aktifitas-aktifitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain”[3][3].
“Sedangkan Sondang P Siagian (1980 : 5) mengartikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain”[4][4].
Bila kita perhatikan dari kedua pengertian manajemen di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah proses pemanfaatan semua sumber daya melalui bantuan orang lain dan bekerjasama dengannya, agar tujuan bersama bisa dicapai secara efektif, efesien, dan produktif. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan proses transinternalisasi nilai-nilai Islam kepada peserta didik sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.


A.    Model Manajemen Yang Tepat Untuk Mengembangkan Pendidikan Islam

Dari perspektif sejarah, lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren itu tumbuh dari bawah, dari gagasan tokoh-tokoh agama setempat. Diawali dari pengajian yang lantas mendirikan mushalla/masjid, madrasah diniyah, dan kemudian mendirikan pesantren atau madrasah.  Sebagian besar tumbuh dan berkembang dari kecil dan kondisinya serba terbatas. Selanjutnya ada yang tubuh dan berkembang dengan pesat atau mengalami continuous quality improvement, ada juga yang stagnant (jalan di tempat) dan ada pula yag mati. Bagi yang terus berkembang hingga mampu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum dan perguruan tinggi, didukung oleh usaha-usaha lain yang bersifat profit seperti pertanian, perdagangan, percetakan, industri jasa dan lain sebagainya.
Sejak dekade 90-an, kesadaran umat untuk meningkatkan mutu lembaga pendidikan Islam mulai bangkit dimana-mana dan beberapa di antaranya telah mampu menjadi sekolah unggul atau sekolah yang efektif (effective school)”[5][5].Yang menjadi persoalan adalah model manajemen yang bagaimana yang tepat bagi pendidikan Islam yang memiliki karakteristik tersebut?

      1.      Manajemen yang Bernuansa Entrepreneurship.
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa sebagian besar pendidikan Islam tumbuh dan berkembang dari bawah dan dari kecil. Manajemen yang tepat adalah manajemen yang dapat memberikan nilai tambah. Manajemen yang dapat memberi nilai tambah adalah manajemen yang bernuansa entrepreneurship. Rhenald Kasali dalam “Paulus Winarto menegaskan bahwa seorang entrepreneur adalah seorang yang menyukai perubahan, melakukan berbagai temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain”[6][6], menciptakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, karyanya dibangun berkelanjutan (bukan ledakan sesaat) dan dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain. Seorang manajer yang sekaligus sebagai seorang entrepreneur memiliki karakter sebagai berikut: memiliki keberanian mengambil resiko, menyukai tantangan, punya daya tahan yang tinggi punya visi jauh ke depan dan selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Menjadi seorang entrepreneur diperlukan integritas yang kokoh, memiliki etos kerja yang tinggi dan kesanggupan untuk menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Seorang entrepreneur adalah orang yang berani mengambil keputusan “keluar dari zona nyaman dan masuk ke dalam zona ketidakpastian (penuh resiko)”. Manajer yang biasa (konvensional) sebenarnya adalah orang yang paling membutuhkan keamanan dan status quo, dan sebaliknya takut pada perubahan. Hal ini wajar karena ia sedang berada di puncak piramida dalam struktur organisasi dengan segala fasilitas, kedudukan dan kehormatan yang melekat padanya.
Seorang entrepreneur pada dasarnya adalah seorang pembaharu (innovator) karena melakukan sesuatu yang baru, dianggap baru atau berbeda dari kondisi sebelumnya. Apa yang dilakukan itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan memberi nilai tambah bagi diri maupun orang lain. Dalam upaya untuk menciptakan nilai tambah seorang entrepreneur sangat mengutamakan kekuatan brand, yaitu citra atau merek yang kuat atas apa yang dilakukannya. Dengan brand yang baik  jelas akan memberikan value yang tinggi. Brand image bagi sebuah lembaga pendidikan merupakan aset yang paling berharga yang mampu menciptakan valuebagi stakeholder dengan meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas dan akhirnya melahirkan kepercayaan. Seorang manajer yang sekaligus entrepreneur bukan sekedar bisa membangun brand belaka, namun juga memanfaatkan kekuatan brand untuk melipatgandakan akselerasi sebuah perubahan.
Pesan Kyai Dahlan (KH. Ahmad Dahlan) agar meng”hidup-hidupi Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah” dapat ditafsirkan dalam konteks semangat entrepreneurship. Artinya setiap orang yang bekerja di lembaga amal usaha Muhammadiyah harus mampu memberikan nilai tambah bagi perkembangan lembaganya.  Dengan cara inilah akan terjadi penumpukan capital (capital development) sehingga amal usaha Muhammadiyah dapat terus tumbuh dan berkembang.

     2.      Management based society
Yaitu manajemen yang dapat menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. “Data EMIS Departemen agama menunjukkan 90% madrasah berstatus swasta dan 100 % pesantren adalah swasta”[7][7].Ini berarti bahwa lembaga pendidikan Islam adalah lembaga milik masyarakat, atau bisa dikatakan “dari, oleh dan untuk masyarakat”. Manajemen pendidikan Islam yang tepat adalah manajemen yang dapat mendekatkan pendidikan Islam dengan masyarakat, diterima, dimiliki dan dibanggakan oleh masyarakat, dan dapat mendayagunakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya. Konsep Manajemen berbasis sekolah (Management Based School) dan pendidikan berbasis masyarakat (Society Based Education) dalam konteks otonomi daerah, lahir karena dilandasi oleh kesadaran bahwa masyarakat punya peran dan tanggung jawab terhadap lembaga pendidikan di daerahya disamping sekolah dan pemerintah.
Bagi lembaga pendidikan Islam yang memang “dari, oleh dan untuk masyarakat”, maka mengembalikan pendidikan Islam kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan apabila pendidikan Islam ingin mengambil dan mendayagunakan kekuatannya. Dengan kata lain, masyarakat adalah kekuatan utama pendidikan Islam. Mencabut pendidikan Islam dari grass root nya (masyarakat) justru akan memperlemah pendidikan Islam itu sendiri. Pondok pesantren yang mampu menjaga hubungan baiknya dengan basis sosialnya terbukti dapat terus berkembang, dan sebaliknya akan mengalami surut ketika ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Lembaga-lembaga pendidikan di Negara-negara maju terutama yang berstatus privat pada umumnya terdapat lembaga semacam Dewan Sekolah, Majlis Madrasah, Dewan Penyantun, Majlis Wali Amanah dan lain sebagainya yang antara lain  bertugas  memperhatikan hubungan, kedekatan dan aspirasi masyarakat serta siap mendayagunakan potensi masyarakat dan memberikan layanan pengabdian (langsung maupun tidak langsung) kepada masyarakat. Di Stanford University misalnya ada The Board of Trustees yang berwenang mengelola dana hibah dan hadiah (grand), sumbangan (endowment) dan lain sebagainya yang dihimpun dari dana masyarakat untuk pengembangan Stanford University.
Di Negara-negara persemakmuran seperti di University of London United Kingdom dan McGill University Canada misalnya terdapat lembaga yang namanya Board of Governor. Anggota lembaga ini sebagian besar dari luar universitas yang pada umumnya memiliki tugas dan peran sebagaimana The Board of Trustees pada Stanford University. McGill University misalnya, lembaga ini dapat berkembang karena semangat amal dari masyarakatnya. Diawali dari hibah James McGill yang menghibahkan sebagian kekayaannya berupa uang 10.000 pound sterling dan tanah 40 hektar beserta real estat yang ada di dalamnya, lembaga ini didirikan dan berkembang dengan terus menggali dana dari masyarakat sampai sekarang. Di McGill, semangat beramal itu tidak hanya dalam pengertian materi terutama dari para dermawan dan hartawan, tetapi juga perbuatan. Dosen, karyawan dan pimpinan McGill rela bekerja keras karena dilandasi oleh semangat amal, semangat beribadah.
Semangat beramal untuk membangun lembaga pendidikan dalam tradisi iman umat Islam sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan umat Islam pernah menjadi pelopor (avant-garde) dalam komitmennya mengembangkan lembaga pendidikan melalui semangat amal. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, bagaimana membangkitkan kembali semangat beramal ini dalam mengembangkan pendidikan Islam? Pertama, adanya lembaga semacam Board of Trustees atau semacam Majlis Wali Amanah yang anggotanya dari wakil masyarakat yang memiliki integritas dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan Islam. Kedua, perlu dibangkitkan kembali semangat juang (jihad), etos kerja semua komponen stake holder internal sebagai wujud amal (perbuatan) nyata. Ketiga, perlu diterapkan manajemen mutu terpadu (total quality management)  dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.

      3.      Management Based Mosque atau Manajemen Berbasis Masjid.
Sebagaimana dikemukakan di muka, embrio pendidikan Islam adalah Masjid. Manajemen pendidikan Islam yang berbasis masjid adalah manajemen yang dijiwai oleh nilai dan semangat spiritual, semangat berjamaah, semangat ihlas lillahi ta’ala (ihlas karena Allah) dan semangat memberi yang hanya berharap pada ridlo Allah. Proses pembelajaran yang integratif dengan masjid memberikan nuansa religius yang kental dalam penanaman nilai-nilai religius maupun praktek langsung pengalaman beragama. Dimulai dari pembiasaan shalat dluha, shalat dluhur berjamaah dan  shalat Ashar berjamaah bagi yang full day school






2. ISLAM TENTANG SIGNIFIKANSI SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) BERKUALITAS

1. Pandangan Islam tentang Manusia
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan istimewa dan menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk lainnya, yakni menjadi khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi (Q.S. al-Baqarah {2}: 30)
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." [8]
Ayat di atas dipertegas dengan ayat lainnya dalam (Q.S. al-An.am {6}:165).
Artinya: .Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu..[9]
Islam menghendaki manusia berada pada tatanan yang tinggi dan luhur. Oleh karena itu manusia dikaruniai akal, perasaan, dan tubuh yang sempurna. Islam, melalui ayat-ayat al-Qur.an telah mengisyaratkan tentang kesempurnaan diri manusia, seperti antara lain disebutkan dalam surat at-Tin {95} ayat 4:
Artinya: .Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kesempurnaan demikian dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan diri dan menjadi anggota masyarakat yang berdaya guna sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya. Berbeda dengan Islam, menurut orang-orang Barat, manusia adalah termasuk bangsa binatang menyusui (mamalia). Yusuf Qardhawi, ulama kontemporer karismatik asal Mesir mengutip pendapat Ernest Haeckel, pemuka aliran biologisme bangsa Jerman yang mengatakan: .tidak ada sangsi lagi bahwa dalam segala hal manusia sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang yang menyusui..[10] Pendapat ini tentu saja memanggil kembali memori kita tentang apa yang pernah dilontarkan oleh ilmuan Barat lainnya, yaitu Charles Darwin dalam .teori evolusi.-nya bahwa asal-muasal bangsa manusia adalah kera. Tentu teori ini ditolak oleh Islam karena bukan hanya bertentangan dengan risalah Islam namun juga secara tak langsung merendahkan derajat manusia itu sendiri sebagai seorang khalifah di bumi. Lain halnya dengan Julian Offrey de Lammetrie, seorang materialis berkebangsaan Perancis yang mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara manusia dengan binatang dan karena itu manusia adalah suatu mesin.[11] Definisi yang dikemukakan oleh para ahli filsafat mengenai manusia tidaklah berbeda dengan pendapat di atas.

Mereka memberikan sebutan manusia sebagai binatang dengan beberapa sikap menurut kenyataan tindakan manusia dalam kehidupannya, antara lain yaitu:
a. Homo Sapiens, menurut Lonnaeus yaitu binatang yang mempunyai budi (akal) dan ahli agama kristen menyebut manusia sebagai animal rational, yaitu binatang yang berfikir.
b. Homo Laquen, menurut Revesz dalam .Das Problem Des Ursprungs end Sprache. manusia ialah binatang yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran serta perasaan dalam kata-kata tersusun.
c. Homo Faber, menurut Bergson dalam .L.Evolution Creatrice. Yaitu binatang yang pandai membuat alat perkakas.
d. Zoon Politicon, menurut Aristoteles yaitu binatang yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
e. Homo Religious, yaitu binatang yang dasarnya beragama.
f. Homo Economicus, yaitu binatang yang takluk pada undang-undang ekonomi dan dia bersifat ekonomikus.[12]
Tetapi al-Qur.an menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat ketuhanan. Definisi ini mengandung tiga unsur yaitu :
a. Manusia adalah ciptaan Allah swt. (Q.S. an-Nahl {16}: 4)
Artinya: .Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata..
b. Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab kepada Allah swt. Menurut al-Qur.an, yang akan dipertanggungjawabkan itu ialah:
1) Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi sebagaimana (Q.S. 2: 30) dan (Q.S. al-An.am {6}: 165) tersebut di atas.
2) Semua nikmat Allah yang pernah diterima manusia (Q.S. at-Takatsur {102}: 8)
Artinya: .Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)..23
3) Semua tingkah laku manusia selama hidup di dunia ini (Q.S. an-Nahl {16}: 93)
Artinya: .dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan..
4) Semua ide, gagasan, ilmu dan teknologi yang diadakan manusia (Q.S. al-Israa {17}: 36)
Artinya: .Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya..
5) Semua ikrar dan janji yang diadakan manusia (Q.S. al-Israa {17}: 34)
Artinya: .Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya..
c. Manusia diciptakan dengan sifat-sifat ketuhanan. Manusia mempunyai sifat-sifat ketuhanan seperti sifat-sifat yang dipunyai oleh Tuhan. Seperti berkuasa, berkehendak, berilmu, penyayang,
pengasih, melihat, mendengar, berkata-kata dan sebagainya. Tetapi sifat-
sifat ini tidaklah sama. Tuhan adalah pencipta, sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya. Pencipta dengan ciptaan-Nya tidak sama. Karena itu sifatsifat Tuhan yang ada pada manusia tentulah sesuai dengan kemanusiaannya.27 Dengan demikian Islam memandang manusia sangat mulia dengan sumber ajarannya yaitu al-Qur.an. Ia telah memotret manusia dalam bentuknya yang utuh dan menyeluruh.

2. Potensi Dasar Manusia

Para filosof tidak pernah sependapat tentang potensi apa yang perlu dikembangkan oleh manusia. Melalui pendekatan historis, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa di Yunani Kuno satu-satunya potensi manusia yang harus dikembangkan di kerajaan Sparta adalah potensi jasmaninya, tetapi sebaliknya di kerajaan Athena yang dipentingkan adalah kecerdasan otaknya.
Beberapa ahli filsafat pendidikan Islam telah mencoba mengklasifikasikan potensi manusia, diantaranya yaitu menurut KH. A. Azhar Basyir, bila manusia ditinjau dari substansinya, maka manusia terdiri dari potensi materi yang berasal dari bumi dan potensi ruh yang berasal dari Tuhan. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Syahminan Zaini yang menyatakan bahwa unsur pembentuk manusia terdiri dari[13]
tanah dan potensi rohani dari Allah.Dalam redaksi lain, Muhaimin dan Abdul Mujib berpendapat bahwa pada hakekatnya manusia terdiri dari komponen jasad (jasmani) dan komponen jiwa (rohani), menurut mereka komponen jasmani berasal dari tanah dan komponen rohani ditiupkan oleh Allah. Demikian pula kesimpulan yang diambil Abuddin Nata berdasarkan pendapat para ahli filsafat pendidikan, bahwa secara umum manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi jasmani dan potensi rohani. Dari pendapat yang dikemukakan di atas, ternyata potensi manusia dapaT diklasifikasikan kepada potensi jasmani dan potensi rohani. Berbeda dengan klasifikasi yang dikemukakan di atas, beberapa ahli filsafat pendidikan menguraikan potensi rohani manusia ke dalam beberapa bagian, sebagaimana pendapat Barmawie Umary yang menyatakan bahwa potensi rohani manusia itu terdiri dari empat unsur
pokok, yaitu roh, qalb, nafs, dan akal.33 Pembagian Barmawie Umary ini sedikit berbeda dengan klasifikasi potensi rohani yang dikemukakan oleh Muhaimin dan Abdul Mujib. Menurut keduanya potensi rohani manusia itu dibagi tiga yaitu, potensi fitrah, qolb, dan akal.
Berikut ini penulis akan menjelaskan satu persatu tentang klasifikasi potensi manusia tersebut yaitu:
a. Potensi Jasmani
Secara jasmaniah (fisik), manusia adalah makhluk yang paling potensial untuk dikembangkan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia dianugerahi rupa dan bentuk fisik yang bagus serta memiliki kelengkapan anggota tubuh untuk membantu dan mempermudah aktivitasnya. Proses penciptaan manusia mulai nutfah (air mani), kemudian .alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), .izam (tulang belakang) dan lahm yang membungkus .izam atau membentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia, merupakan kesempurnaan manusia secara fisik. Untuk mengetahui potensi jasmani, Abuddin Nata memperkenalkan kata kunci yang diambil dari al-Qur.an, yaitu al-basyar. Menurutnya, kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk. Basyar merupakan bentuk jamak dari akar kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Oleh karena itu kata mubasyarah diartikan musalamah yang artinya persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan. Disamping itu kata mubasyarah diartikan sebagai al-liwath atau al-jima. yang artinya persetubuhan. Manusia dalam pengertian basyar adalah manusia yang seperti tampak pada lahiriahnya, mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan
yang sama yang ada di alam ini, dan oleh pertumbuhan usianya, kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya ajalnya akan menjemputnya.[14] Guru Besar Psikologi Islam UIN Jakarta, Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat memberikan penjelasan lebih rinci tentang aktifitas lahiriah manusia sebagai kebutuhan pertama atau disebut juga kebutuhan primer. Kebutuhan seperti makan, minum, seks dan sebagainya tidak dipelajari manusia, melainkan sudah menjadi
fitrahnya sejak lahir. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akan hilanglah keseimbangan fisiknya. Dalam kebutuhan fisik jasmaniah ini, manusia tidak banyak berbeda dari makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada cara memenuhi kebutuhan itu.3[15]Ketika keseimbangan fisiknya tidak terjaga, maka tubuh manusia akan sakit, sementara dalam ilmu kesehatan menjaga seluruh anggota tubuh agar berfungsi secara optimal memerlukan gizi, berbagai vitamin, udara dan kondisi lingkungan yang bersih. Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa potensi jasmani yang ada pada manusia merupakan segala daya manusia yang berhubungan dengan aktifitas fisiknya sekaligus kebutuhan lahiriahnya, karena manusia secara fisik akan tumbuh optimal bila semua anggota tubuh yang dikaruniakan oleh Allah swt berfungsi secara baik. Keterkaitan itu membawa implikasi bahwa setiap manusia harus mampu mengembangkan daya-daya yang berhubungan dengan eksistensi jasmaniahnya.
b. Potensi Rohani
Manusia merupakan makhluk yang istimewa dibanding makhluk lainnya, karena disamping memiliki dimensi fisik yang sempurna, ia juga memiliki dimensi roh ini dengan segala potensinya. Jika potensi jasmani diketahui dari kata basyar, maka untuk mengetahui potensi ruhani dapat dilihat dari kata al-insan. Kata insane mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang memiliki arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak.[16]Sedangkan Quraish Shihab menganalisis kata insan hanya terambil dari kata uns yang berarti jinak dan harmonis. Menurutnya, pendapat di atas, jika dipandang dari sudut pandang al-Qur.an lebih tepat dari yang mengatakan bahwa kata insane diambil dari kata nasiya (lupa) atau dari kata nasa-yanusu (berguncang). Kata insane juga digunakan al-Qur.an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) memiliki potensi seperti fitrah, qalb, nafs, dan akal. Karena potensi itulah manusia menjadi makhluk yang tinggi martabatnya. Dengan demikian potensi ruhani manusia terdiri dari beberapa unsure pokok, yaitu:
a. Fitrah
Dari segi bahasa fitrah diambil dari kata al-fathr yang berarti belahan dan dari makna ini lahir makna-makna lainnya antara lain penciptaan atau kejadian. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Sedangkan Muhaimin dan Abdul Mujib memberikan penjelasan rinci tentang arti fitrah yaitu:
1) Fitrah berarti suci (thur), yang berarti kesucian dalam jasmani dan rohani.
2) Fitrah berarti mengakui keesaan Allah swt (tauhid).
3) Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma.rifatullah.
4) Fitrah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).43 Dalam pemahaman potensi fitrah inilah al-Ghazali meneliti keistimewaan potensi fitrah yang dimiliki manusia, sebagai berikut:
a) Beriman kepada Allah
b) Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
c) Dorongan ingin tahu untuk mencari hakekat kebenaran yang berwujud daya berfikir.
d) Dorongan biologis berupa syahwat (sensual pleasure), ghadhab, dan tabiat (insting). Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan berupa kecenderungan kepada tauhid serta kesucian jasmani dan rohaninya, dan dalam Islam diakui bahwa lingkungan berpengaruh dalam perkembangan fitrah menuju kesempurnaan dan kebenaran. Oleh karena itu, potensi yang dimiliki manusia harus dikembangkan dan dilestarikan.
b. Roh
Roh merupakan kekuatan yang dapat membebaskan diri dari batas-batas materi. Kekuatan jasmani terikat dengan wujud materi dan inderanya, sedangkan kekuatan roh tak satupun materi yang dapat mengikatnya. Ia mempunyai hokum sesuai dengan penciptaan Allah padanya, yakni berhubungan dengan kelanggengan wujud azali.[17] Oleh karena itu al-Kindi mengindentifikasi roh sebagai sesuatu yang tidak tersusun, simpel, dan sederhana tetapi mempunyai arti yang penting sempurna dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan, hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari.45 Al-Ghazali membagi pengertian roh kepada dua, yaitu:
1) Roh yang bersifat jasmani
Roh yang merupakan bagian dari jasmani manusia, yaitu zat yang amat halus bersumber dari ruangan hati (jantung) yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Roh dapat diumpamakan sebagai lampu yang mampu menerangi setiap sudut organ, inilah yang sering disebut sebagai nafs (jiwa).


2) Roh yang bersifat rohani
Roh yang merupakan bagian dari rohani manusia mempunyai ciri halus dan ghaib, dengan roh ini manusia dapat mengenal Tuhannya, dan mampu mencapai ilmu yang bermacam-macam. Disamping itu roh ini dapat menyebabkan manusia berprikemanusiaan, berakhlak yang baik dan berbeda dengan binatang.
Dari uraian di atas, penulis berpendapat walaupun roh memiliki karakteristik yang halus, abstrak, rahasia dan ghaib, tetapi roh dapat diidentifikasi melalui sifatnya. Roh yang bersifat jasmani merupakan zat yang menentukan hidup dan matinya manusia, sementara roh yang bersifat rohani merupakan substansi manusia yang berasal dari substansi Tuhan, sehingga memiliki potensi untuk berhubungan dengan tuhan atau mengenal Tuhannya.
c. Qalb
Hati dalam bahasa Arabnya disebut qalb. Menurut ilmu biologi, qalb itu segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak ke sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segitiga. Tetapi yang dimaksud di sini bukanlah hati yang berupa segumpal darah dan bersifat materi itu, melainkan hati yang bersifat immateri. Tentang hati yang bersifat immateri ini, al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengidentifikasikan qalb menjadi rahasia setiap manusia dan merupakan anugerah Allah yang paling mulia. Qalb mempunyai nama-nama lain yang disesuaikan dengan aktivitasnya, ia dapat dikatakan sebagai dhomir karena sifatnya yang tersembunyi, fuad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia, kabid karena berbentuk benda, luthfu karena sebagai sumber perasaan halus, karena qalb suka berubah-ubah kehendaknya, serta sirr karena bertempat pada tempatnya yang rahasia dan sebagai muara bagi
rahasia manusia.48 Dengan demikian, potensi yang dimiliki qalb tergantung kepada karakteristik
qalb itu sendiri yang berubah-ubah, sehingga dalam penjelasan selanjutnya tentang potensi qalb ini, Dr. Ahmad Mubarak menguraikan kandungan qalb yang memperkuat potensi-potensi itu. Beliau menyebutkan berbagai kondisi qalb yang berubah-ubah, yaitu penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta
dan kasih sayang, kebaikan, iman, kedengkian, kufur, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan, dan kesombongan.
d. Nafs
Dalam konteks rohani manusia, yang dimaksud dengan nafs adalah kondisi kejiwaan setiap manusia yang memiliki potensi berupa kemampuan menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk. Al-Ghazali membagi nafs kepada tiga tingkatan, yaitu:
1) Nafs tingkatan utama, meliputi:
a) Nafs Mardliyah, yaitu nafs yang cenderung melaksanakan petunjuk, guna memperoleh ridho illahi
b) Nafs Rodliyah, yaitu nafs yang cenderung kepada sifat ikhlas tanpa pamrih atas aktivitas yang dilakukannya.
c) Nafs Muthmainnah, yaitu nafs yang cenderung kepada keharmonisan dan ketenangan.
d) Nafs Kamilah, yaitu nafs yang mengarah kepada pada tingkat kesempurnaan.
e) Nafs Mulhamah, yaitu nafs yang memiliki keutamaan dalam bertindak dan menjauhi perbuatan dengki, rakus dan iri hati.
2) Nafs Lawwamah, yaitu nafs yang mencerminkan sifat-sifat insaniyah.
3) Nafs Amarah, yaitu nafs yang mencerminkan sifat-sifat hayawaniyah dan bahamiyah (kehewanan dan kebinatangan).
Dalam ensiklopedi Indonesia, ditampilkan pula ketujuh konsep sebagaimana pendapat Al-Ghazali di atas dengan menggunakan tiga kelompok. Kelompok pertama adalah nafs amarah yang memiliki ciri-ciri dorongan rendah yang bersifat jasmaniah seperti loba, tamak serta cenderung menyakiti hati orang lain. Kelompok kedua adalah nafs lawwamah yang memiliki ciri-ciri sudah menerima nilai-nilai kebaikan tetapi masih cenderung kepada dosa, walaupun akhirnya menyesalinya. Kelompok ketiga adalah nafs-nafs yang berciri baik dan luhur, yaitu: mardliyah, kamilah, mulhamah, muthmainnah, dan radliyah, yang cenderung kepada sifat-sifat
keutamaan, kesempurnaan, kerelaan, penyerahan kepada tuhan dan mencapai ketenangan jiwa. Walaupun dalam Al-Qur.an hanya ada tiga macam nafs yang disebutkan jelas jenisnya, pertama nafs amarah (Q.S. Yusuf: 53), kedua nafs lawwamah (Q.S. al-Qiyamah: 2) dan nafs muthmainnah (Q.S. Al-Fajr: 27).[18] Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa nafs adalah kondisi kejiwaan setiap menusia yang telah diilhamkan Allah kepadanya kebaikan dan keburukan, sehingga nafs memiliki potensi berupa kemampuan untuk menggerakkan perbuatan yang baik dan buruk. Potensi nafs tersebut ditentukan dari kualitas nafs itu sendiri, jika kualitas nafs itu baik, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan  perbuatan baik, sedangkan jika kualitas nafs itu buruk, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan buruk.

e. Akal
Manusia dibedakan dengan makhluk lainnya karena manusia dikarunia akal dan kehendak-kehendak (iradah). Akal yang dimaksud adalah berupa potensi, bukan anatomi. Akal memungkinkan manusia untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, mengerjakan yang baik dan menghindari yang buruk. Dengan akal manusia dapat memahami, berpikir, belajar, merencanakan berbagai kegiatan besar, serta memecahkan berbagai masalah sehingga akal merupakan daya yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Menurut Ahmad D. Marimba, akal bermanfaat dalam bidang-bidang berikut ini:[19]
1) Pengumpulan ilmu pengetahuan
2) Memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia
3) Mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksud tersebut.
Tetapi pada keadaan yang lain, sebaliknya akal dapat pula berpotensi untuk:
1) Mencari jalan-jalan ke arah perbuatan yang sesat
2) Mencari alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan yang sesat itu


3) Menghasilkan kecongkakan dalam diri manusia bahwa akal itu dapat mengetahui segala-galanya.53
Demikianlah gambaran tentang potensi akal yang pada intinya adalah bahwa Allah memberikan suatu karunia besar dan maha dahsyat bagi manusia, sebuah daya (kekuatan) yang dapat membawa manusia kepada kebaikan dan manfaat, sebaliknya juga dapat merusak dan membawa madharat. Potensi akal yang dimiliki manusia menjadikannya berbeda dengan makhluk lainnya di muka bumi ini.
3. Sumber Daya Manusia Berkualitas Menurut Islam
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran sehingga ia ditempatkan pada kedudukan yang mulia. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu karena akal dan perasaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada Pencipta.
Potensi-potensi yang diberikan kepada manusia pada dasarnya merupakan petunjuk (hidayah) Allah yang diperuntukkan bagi manusia supaya ia dapat melakukan sikap hidup yang serasi dengan hakekat penciptaannya.[20] Sejalan dengan upaya pembinaan seluruh potensi manusia, Muhammad Quthb berpendapat bahwa Islam melakukan pendidikan dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik dari segi jasmani maupun segi rohani, baik kehidupannya secara mental, dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apapun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya. Pendapat ini memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka mencapai pendidikan Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi secara serasi dan seimbang.[21] Hasan Langgulung melihat potensi yang ada pada manusia sangat penting sebagai karunia yang diberikan Allah untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Suatu kedudukan yang istimewa di dalam alam semesta ini. Manusia tidak akan mampu menjalankan amanahnya sebagai seorang khalifah, tidak akan mampu mengemban tanggung jawabnya jikalau ia tidak dilengkapi dengan potensipotensi tersebut dan mengembangkannya sebagai sebuah kekuatan dan nilai lebih manusia dibandingkan makhluk lainnya. Artinya, jika kualitas SDM manusianya berkualitas maka ia dapat mempertanggungjawabkan amanahnya sebagai seorang khalifah dengan baik. Kualitas SDM ini tentu saja tak hanya cukup dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), tetapi juga pengembangan nilainilai rohani-spiritual, yaitu berupa iman dan taqwa (imtaq). Dari penjabaran di atas dapat dimengerti bahwa pengembangan SDM sangat penting, tak hanya dari sudut ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, tak kalah pentingnya adalah dimensi spiritual dalam pengembangan SDM. Kualitas SDM tidak akan sempurna tanpa ketangguhan mental-spiritual keagamaan. Sumber daya manusia yang mempunyai dan memegang nilai-nilai agama akan lebih tangguh secara rohaniah. Dengan demikian akan lebih mempunyai tanggung jawab spiritual terhadap ilmu pengetahuan serta teknologi. Sumber daya manusia yang tidak disertai dengan kesetiaan kepada nilai-nilai keagamaan, hanya akan membawa manusia ke arah pengejaran kenikmatan duniawi atau hedonisme belaka.
Dan jika semangat hedonisme sudah menguasai manusia, bisa diramalkan yang terjadi adalah eksploitasi alam sebesar-besarnya tanpa rasa tanggung jawab dan bahkan penindasan manusia terhadap manusia lain.[22] Kesimpulan lengkap yang berkait dengan acuan bagi pengembangan SDM berdasarkan konsep Islam, menjadi .membentuk manusia yang berakhlak mulia, yang
senantiasa menyembah Allah yang menebarkan rahmat bagi alam semesta dan bertaqwa kepada Allah.. Inilah yang menjadi arah tujuan pengembangan SDM  menurut konsep Islam.




C.STRATEGI AKSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKUALITAS

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian dari ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari pengembangan budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama. Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan, tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam menurut Hasan Langgulung adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh dan jasmani, kemauan yang bebas, dan akal.[23]Pembentukan pribadi atau karakter sebagai khalifah tentu menuntut kematangan individu, hal ini berarti untuk memenuhi tujuan utama tersebut maka pengembangan sumber daya manusia adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi untuk menggapainya. Karena strategi merupakan alternatif dasar yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbangan bahwa alternatif terpilih itu diperkirakan paling optimal.
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat digali.3 Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang telah dipersempit berpendapat bahwa strategi memiliki makna sejumlah prinsip dan pikiran yang sepatutnya mengarahkan tindakan sistem-sistem pendidikan di dunia Islam.
Menurutnya kata Islam dalam konteks tersebut, memiliki ciri-ciri khas yang tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah strategi pendidikan itu mempunyai corak Islam.4 Adapun strategi pendidikan yang dipilih oleh Langgulung terdiri dari dua model, yaitu strategi pendidikan yang bersifat makro dan strategi pendidikan yang bersifat mikro.
A. Strategi Pendidikan yang Bersifat Makro
Strategi pendidikan yang bersifat makro biasa dilakukan oleh para pengambil keputusan dan pembuat rencana pendidikan (education planner) atau dalam hal ini adalah pemerintah. Strategi makro ini memiliki cakupan luas dan bersifat umum, artinya bukan dilakukan oleh satu atau segelintir orang saja, namun melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Strategi yang diusulkan terdiri dari tiga komponen utama, yaitu tujuan, dasar, dan prioritas dalam tindakan.
1. Tujuan
Segala gagasan untuk merumuskan tujuan pendidikan di dunia Islam haruslah memperhitungkan bahwa kedatangan Islam adalah permulaan baru bagi manusia. Islam datang untuk memperbaiki keadaan manusia dan menyempurnakan utusanutusan (anbiya) Tuhan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan agama. Seperti arti firman Allah swt.: .Hari ini Aku sempurnakan agamamu dan Aku
lengkapkan nikmatKu padamu dan Aku rela Islam itu sebagai agamamu.. (QS. Al- Maidah: 4). Dan firman-Nya yang lain: .Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia sebab kamu memerintahkan yang ma.ruf dan melarang yang mungkar dan beriman kepada Allah.. (QS. Ali Imran: 110).
Berpijak pada dua ayat tersebut, kemudian Hasan Langgulung menyimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam.selain tujuan utama (akhir) pendidikan Islam yang ingin membentuk pribadi khalifah.diringkas dalam dua tujuan pokok; pembentukan insan yang shaleh dan beriman kepada Allah dan agamaNya, dan pembentukan masyarakat yang shaleh yang mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusan.
a. Pembentukan Insan Shaleh
Yang dimaksud dengan insan shaleh adalah manusia yang mendekati kesempurnaan, dengan kata lain pengembangan manusia yang menyembah dan bertaqwa kepada Allah sebagaimana dalam firmanNya: .Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepadaKu.. (QS. Adz-Dzariat: 56),
manusia yang penuh keimanan dan taqwa, berhubungan dengan Allah memelihara dan menghadap kepadaNya dalam segala perbuatan yang dikerjakan dan segala tingkah laku yang dilakukannya, segala pikiran yang tergores di hatinya dan segala perasaan yang berdetak di jantungnya. Yang harus diperhatikan di sini ialah bahwa makna menyembah sebagaimana ayat di atas tidak dimaksudkan shalat sebagai upacara ibadah yang kita pahami. Menyembah dalam pengertian luas adalah mengembangkan sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia.6 Inilah manusia yang mengikuti jejak langkah Rasul saw. dalam pikiran dan perbuatannya. Insan shaleh beriman dengan mendalam bahwa ia adalah khalifah di bumi. Ia mempunyai risalah ketuhanan yang harus dilaksanakannya, oleh sebab itu ia selalu menuju kesempurnaan itu hanya untuk Allah saja. Salah satu aspek kesempurnaan itu adalah akhlak yang mulia.
Di antara akhlak insan yang shaleh dalam Islam adalah harga diri, prikemanusiaan, kesucian, kasih sayang, kecintaan, kekuatan jasmani dan rohani, menguasai diri, dinamis, dan tanggung jawab. Ia memerintahkan yang ma.ruf dan melarang yang mungkar. Ia juga bersifat benar, jujur, ikhlas, memiliki rasa keindahan dan memiliki rasa keseimbangan pada kepribadiannya; jasad, akal, dan roh semuanya tumbuh dan pertumbuhannya terpadu, juga memakmurkan dunia dan mengeluarkan hasilnya.
b. Pembentukan masyarakat shaleh
Masyarakat shaleh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia mempunyai risalah (message) untuk umat manusia, yaitu risalah keadilan, kebenaran, dan kebaikan, suatu risalah yang akan kekal selamanya, tidak terpengaruh faktor waktu dan tempat. Untuk memperoleh masyarakat shaleh tentu saja dimulai dari insane pribadi dan keluarga yang shaleh. Dalam hal ini umat Islam hendaknya berusaha sekuat tenaga memikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya kapan dan dimana saja. Tugas pendidikan Islam adalah menolong masyarakat mencapai maksud
tersebut. lanjutnya, Hasan Langgulung mengklasifikasikan tugas pendidikan Islam pada masyarakat berdasarkan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam adalah pada hal-hal berikut :
1) Menolong masyarakat membangun hubungan-hubungan sosial yang serasi, setia kawan, kerja sama, interdependen, dan seimbang sesuai dengan firman Allah: .Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.. (Q.S. At- Taubah: 10).
2) Mengukuhkan hubungan di kalangan kaum muslim dan menguatkan kesetiakawanannya melalui penyatuan pemikiran, sikap, dan nilai-nilai. Ini semua bertujuan menciptakan kesatuan Islam.
3) Menolong masyarakat Islam mengembangkan diri dari segi perekonomian yang bermakna: a) Berusaha memperbaiki suasana kehidupannya dari segi material dengan memerangi kejahilan kemiskinan, dan berbagai macam penyakit. b) Menolong masyarakat melepaskan diri dari sifat ketergantungan kepada orang lain dari segi pemikiran, sains, dan teknologi. c) Turut serta dalam membangun hubungan perekonomian yang sesuai dengan ajaran agama. d) Menyiapkan diri dengan sains dan teknologi modern dan melengkapinya dengan paradigma Islam tentang sistem kehidupan perekonomian. e) Pembentukan kader dan para profesional yang memadai untuk berbagai sektor ekonomi dan sosial. f) Pengembangan nilai-nilai, sikap, dan tingkah laku pembangunan di kalangan individu dan kelompok. g) Melatih pekerja dalam sektor ekonomi dan semua anggota masyarakat agar berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aktivitas pembangunan, baik ekonomi, sosial, dan budaya.
4) Memberi sumbangan dalam perkembangan masyarakat Islam. Maksudnya adalah penyesuaian dengan tuntutan kehidupan modern dengan memelihara identitas Islam, sebab Islam tidak bertentangan dengan perkembangan dan pembaharuan. Islam adalah agama yang sesuai dengan segala tempat dan waktu. Peranan pendidikan Islam di sini dapat disimpulkan dalam rangka memberi kemudahan bagi perkembangan dalam masyarakat Islam. Ini dapat dicapai dengan: a) Menyiapkan individu-individu dengan kelompok untuk menerima perkembangan dan turut serta di dalamnya. b) Menyiapkan mereka untuk membimbing perkembangan itu sesuai dengan tuntutan spiritual, syariat dan akhlak Islam.
5) Mengukuhkan identitas budaya Islam. Ini dapat dicapai dengan pembentukan kelompok-kelompok terpelajar, para pemikir dan kaum ilmuan yang: a) Bersemangat Islam, sadar dan melaksanakan ajarannya, prihatin dengan peninggalan peradaban Islam, disamping bangga dan bersedia membelanya sehingga karya-karyanya mempunyai corak Islam sejati. b) Menguasai sains
dan teknologi modern dan bersifat terbuka terhadap budaya lain. c) Bersifat produktif, terutama dalam hal mengarang, membuat karya inovatif, dapat menyelaraskan potensi-potensi yang ada, dan membimbing orang lain. d) Bebas dari ketergantungan kepada orang atau budaya lain, dan tidak memiliki sifat taklid buta.
Ini tujuan-tujuan terpenting yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini pendidikan Islam harus bertolak dari berbagai dasar pokok yang dapat disimpulkan berikut ini.




2. Dasar-dasar Pokok

Hasan Langgulung memandang bahwa pendidikan dewasa ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Untuk itu, ia menawarkan bahwa tindakan yang perlu diambil ialah dengan memformat kurikulum pendidikan Islam dengan format yang lebih integralistik dan bersifat universal. Hasan Langgulung menjabarkan 8 aspek yang termasuk dalam dasar-dasar pokok pendidikan Islam, yaitu:
a. Keutuhan (syumuliyah)
Pendidikan Islam haruslah bersifat utuh, artinya memperhatikan segala aspek manusia: badan, jiwa, akal dan rohnya.Pendidikan dalam rangka pengembangan SDM, ditemukan al-Qur.an, menghadapi peserta didiknya dengan seluruh totalitas unsur-unsurnya. Al-Qur.an tidak memisahkan unsur jasmani dan rohani tetapi merangkaikan pembinaan jiwa dan pembinaan akal, sekaligus tidak mengabaikan jasmaninya. Karena itu, seringkali ditemukan uraian-uraiannya disajikan dengan argumentasi logika, disertai sentuhan-sentuhan kepada kalbu. Hal ini merupakan salah satu prinsip utama dalam pengembangan kualitas SDM
Diharapkan dengan melaksanakan prinsip ini, bukan hanya kesucian jiwa yang diperoleh, tetapi juga pengetahuan yang merangsang kepada daya cipta, karena daya ini dapat lahir dari penyajian materi secara rasional, serta rangsangan pertanyaan-pertanyaan melalui diskusi timbal balik.10
Pendidikan Islam perlu mendidik semua individu di masyarakat (democratization) dan dari segi pelaksanaannya, sistem pendidikan Islam haruslah meliputi segala aktivitas pendidikan normal, non-formal dan informal seperti pendidikan di rumah, masjid, pekerjaan, lembaga-lembaga sosial dan budaya.
b. Keterpaduan
Kurikulum pendidikan Islam hendaknya bersifat terpadu antara komponen yang satu dengan yang lain (integralitas) dengan memperhatikan hal-hal sebaga berikut: 1) Pendidikan Islam haruslah memberlakukan individu dengan memperhitungkan ciri-ciri kepribadiannya: jasad, jiwa, akal, dan roh yang berkaitan secara organik, berbaur satu sama lain sehingga bila terjadi perubahan pada salah satu komponennya maka akan berlaku perubahan-perubahan pada komponen yang lain. 2) Pendidikan Islam harus bertolak dari keterpaduan di antara negara-negara Islam. Ia mendidik individu-individu itu supaya memiliki semangat setia kawan dan kerja sama sambil mendasarkan aktivitasnya atas semangat dan ajaran Islam. Berbagai jenis dan tahap pendidikan itu dipandang terpadu antara berbagai komponen dan aspeknya.
c. Kesinambungan / Keseimbangan
Pendidikan Islam haruslah bersifat kesinambungan dan tidak terpisah-pisah dengan memperhatikan aspek-aspek berikut: 1) Sistem pendidikan itu perlu member peluang belajar pada tiap tingkat umur, tingkat persekolahan dan setiap suasana. Dalam Islam tidak boleh ada halangan dari segi umur, pekerjaan, kedudukan, dan lain-lain. 2) Sistem pendidikan Islam itu selalu memperbaharui diri atau dinamis dengan perubahan yang terjadi. Sayyidina Ali r.a. pernah memberikan nasehat: .Ajarkan anak-anakmu ilmu lain dari yang kamu pelajari, sebab mereka diciptakan bagi zaman bukan zamanmu..
d. Keaslian
Pendidikan Islam haruslah orisinil berdasarkan ajaran Islam seperti yang disimpulkan berikut ini: 1) Pendidikan Islam harus mengambil komponen-komponen, tujuan-tujuan, materi dan metode dalam kurikulumnya dari peninggalan Islam sendiri sebelum ia menyempurnakannya dengan unsur-unsur dari peradaban lain. 2) Haruslah memberi prioritas kepada pendidikan kerohanian yang diajarkan oleh Islam. 3) Pendidikan kerohanian Islam sejati menghendaki agar kita menguasai bahasa Arab, yaitu bahasa al-Qur.an dan Sunnah. 4) Keaslian ini menghendaki juga pengajaran sains dan seni modern dalam suasana perkembangan dimana yang menjadi pedoman
adalah aqidah Islam.

e. Bersifat Ilmiah
Pendidikan Islam haruslah memandang sains dan teknologi sebagai komponen terpenting dari peradaban modern, dan mempelajari sains dan teknologi itu merupakan suatu keniscayaan yang mendesak bagi dunia Islam jika tidak mau ketinggalan .kereta api.. Selanjutnya memberi perhatian khusus ke berbagai sains dan teknik modern dalam kurikulum dan berbagai aktivitas pendidikan, hanya ia harus sejalan dengan semangat Islam.
f. Bersifat Praktikal
Kurikulum pendidikan Islam tidak hanya bisa bicara secara teoritis saja, namun ia harus bisa dipraktekkan. Karena ilmu tak akan berhasil jika tidak dipraktekkan atau realita. Pendidikan Islam hendaknya memperhitungkan bahwa kerja itu adalah komponen terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Kerja itu dianggap ibadah. Jadi pendidikan Islam itu membentuk manusia yang beriman kepada ajaran Islam, melaksanakan dan membelanya, dan agar ia membentuk pekerja produktif dalam bidang ekonomi dan individu yang aktif di masyarakat.
g. Kesetiakawanan
Di antara ajaran terpenting dalam Islam adalah kerja sama, persaudaraan dan kesatuan di kalangan umat muslimin. Jadi pendidikan Islam harus dapat menumbuhkan dan mengukuhkan semangat setia kawan di kalangan individu dan kelompok.

h. Keterbukaan
Pendidikan haruslah membuka jiwa manusia terhadap alam jagat dan Penciptanya, terhadap kehidupan dan benda hidup, dan terhadap bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Islam tidak mengenal fanatisme, perbedaan kulit atau sosial, sebab di dalam Islam tidak ada rasialisme, tidak ada perbedaan antara manusia kecuali karena taqwa dan iman. Firman Allah swt: .Wahai manusia, Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu adalah yang paling bertaqwa.. (QS. Al-Hujurat: 13). Jadi pendidikan Islam adalah pendidikan kemanusiaan yang berdiri di atas persaudaraan seiman (tidak ada beda antara orang Arab atau orang .Ajam kecuali karena taqwa). Pendidikan Islam adalah pendidikan universal yang diperuntukkan kepada umat manusia seluruhnya.[24] Itulah dasar-dasar pokok pendidikan Islam atau formulasi kurikulum sebagai landasan untuk mencapai cita-citanya yang tercantum dalam tujuan-tujuan yang telah diuraikan sebelumnya. Strategi selanjutnya untuk mencapai keberhasilan dalam usaha mencapai cita-cita itu ialah harus ada skala prioritas dalam mencapai cita-cita itu, baik dalam tindakan, anggaran, administrasi, dan lain-lain.
3. Prioritas Dalam Tindakan
Bertolak dari tujuan dan dasar pokok yang telah diterangkan di atas, maka Hasan Langgulung selanjutnya memaparkan strategi ketiga yaitu memberikan prioritas tindakan yang harus diberikan oleh orang-orang yang bertanggung jawab tentang pendidikan di dunia Islam terutama pemerintah. Prioritas ini tidak mesti sama dan seragam dalam peletakannya, tergantung kebutuhan nama yang lebih mendesak untuk segera dilakukan. Ragam prioritas itu adalah:
a. Menyekolahkan semua anak yang mencapai usia sekolah, dan membuat rancangan agar mereka memperoleh pendidikan dan keterampilan. Menimbang kekurangan material yang dialami oleh sebagian besar negaranegara Islam maka tugas ini menuntut agar kita mengeksploitasi sejauh mungkin semua kerangka pendidikan yang ada dan berusaha mencari
kerangka dan sumber-sumber lain di luar sistem pendidikan seperti surau, masjid, pondok pesantren, dan lembaga-lembaga sosial, budaya, dan vokasional. Begitu juga harus dimobilisasi semua tenaga yang sanggup mengajar, baik di dalam atau di luar institusi pendidikan.
b. Mempelbagaikan (penganekaragaman) jalur pengembangan di semua tahap pendidikan dan membimbingnya ke arah yang fleksibel. Keberagaman ini menghendaki perubahan rencana-rencana jangka panjang, pendek dan mengadakan pendidikan umum, pendidikan teknik, vokasional dan pertanian.

Sedang fleksibilitas menghendaki adanya jembatan-jembatan penghubung antara berbagai jenis dan tahap pendidikan.
c. Meninjau kembali materi dan metode pendidikan (kurikulum) supaya sesuai dengan semangat Islam dan ajaran-ajarannya, dan bagi berbagai kebutuhan ekonomi, teknik, dan sosial. Tidaklah patut ilmu-ilmu dari Barat itu diambil begitu saja, tetapi yang diambil ialah yang sesuai dengan kebutuhan dunia Islam dan ditundukkan di bawah sistem nilai-nilai Islam.
d. Mengukuhkan pendidikan agama dan akhlak dalam seluruh tahap dan bentuk pendidikan supaya generasi baru dapat menghayati nilai-nilai Islam sejak kecil.
e. Administrasi dan Perencanaan. Pada tahap administrasi patutlah dimudahkan hubungan yang fleksibel pada administrasi, pembentukan teknisi-teknisi yang mampu, dan mempraktekkan sistem desentralisasi. Pada tahap perencanaan, sudah sepatutnya perencanaan itu serasi dengan sektor lainnya, tahap
pendidikan dari satu segi, dan dari segi lain juga meliputi keterpaduan antara pendidikan dengan sektor-sektor lain seperti ekonomi dan budaya.
f. Kerja sama adalah salah satu dari aspek utama yang harus mendapat perhatian besar di kalangan penanggung jawab pendidikan, sebab ia mengukuhkan kesetiakawanan dan keterpaduan di antara negara-negara Islam. Kerja sama ini bisa dilaksanakan dengan pertukaran pengalaman, pelajar, tenaga pengajar, dan membuka institusi perguruan tinggi dan universitas-universitas bagi
pelajar-pelajar dari seluruh dunia Islam. Begitu juga dengan pengembangan pusat-pusat regional bagi kajian sains dan teknologi, dan dengan menggunakan tenaga kerja manusia, dan keahlian ilmiah raksasa yang dimiliki oleh dunia Islam dari masing-masing negara. Begitu banyak negara
Islam yang meminta dan membeli keahlian dari Barat, padahal keahlian ini ada dalam kuantitas yang besar di negara-negara Islam yang lain. Malah sebagian keahlian ini mengalami pengangguran sehingga berhijrah ke negaranegara Barat dengan bayaran murah, sedang berbagai negara Islam lain kekurangan keahlian ini. Kerja sama ini juga dapat dilaksanakan dalam bentuk
penelitian bersama di berbagai bidang ilmiah dan pemikiran, dan menerjemahkan karya budaya yang penting di dunia Islam ke berbagai bahasa dunia Islam.
Inilah inti prioritas yang sepatutnya dijalankan oleh penanggung jawab pendidikan (pemerintah) di tiap negara Islam untuk mencapai tujuan ganda dari pendidikan Islam. Yaitu pembentukan individu dan masyarakat yang shaleh. Inti prioritas ini meliputi penyerapan semua anak-anak yang mencapai usia sekolah,
keanekaragaman jalur perkembangan (jurusan dalam pendidikan), meninjau kembali materi dan metode pendidikan, pengukuhan pendidikan agama, administrasi dan perencanaan, dan kerja sama regional dan antara negara di dalam dunia Islam.
Sebagai bahan komparasi terhadap strategi pendidikan Islam yang bersifat makro yang digagas oleh Hasan Langgulung di atas. Penulis mengutip pula beberapa alternatif strategi dan upaya menciptakan manusia bersumber daya unggul yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Engking Soewarman Hasan, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung:
1. Strategi pemberdayaan masyarakat
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masayarakat yang berkembang.
b. Memperkuat potensi atau pemberdayaan masyarakat
c. Memberdayakan mengandung arti pula melindungi, artinya dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
2. Strategi keterpaduan penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan nasional secara terbuka memberi peluang pada setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan. Permasalahan yang masih dirasakan di dalam melaksanakan kebijaksanaan pendidikan nasional adalah:
a. Pemerataan kesempatan, yang mengandung tiga arti: persamaan kesempatan (equality of opportunity), aksebilitas, dan keadilan atau kewajaran (equality).
b. Relevansi pendidikan, mengandung makna pendidikan harus menyentuh kebutuhan yang cakupannya sangat luas.
c. Kualitas (mutu) pendidikan yang mengacu pada proses dan kualitas produk.
d. Efisiensi pendidikan, artinya upaya pendidikan menjadi efisiensi jika hasil yang dicapai maksimal dengan biaya yang wajar.
3. Keterpaduan pembinaan Iptek dan Imtaq.[25] Sepintas, strategi ini hampir sama dengan tujuan pembentukan masyarakat shaleh yang digagas oleh Langgulung. Namun, jika kita perhatikan lebih seksama ada perbedaan mencolok antara teori keduanya, Langgulung lebih menitikberatkan tujuan pembentukan masyarakatnya dengan berpijak pada ajaran dan budaya Islam, sedangkan strategi pemberdayaan masyarakat yang digagas oleh Engking lebih umum
dengan tidak membatasi teorinya pada doktrin agama. Strategi keterpaduan penyelenggaran pendidikan yang dicetuskan oleh Engking relevan dengan gagasan Langgulung dalam .strategi pendidikan makro.nya
terutama pada bagian dasar-dasar pokok dalam aspek kesinambungan dan termasuk
pula salah satu prioritas dalam tindakan yang dicetuskannya. Strategi Engking yang
ketiga tentu saja menguatkan dan menegaskan bahwa dalam meningkatkan kualitas
SDM melalui pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dengan memadukan unsur
jasmani, rohani dan akal sebagaimana telah dipaparkan oleh Langgulung.

Strategi Pendidkan yang Bersifat Mikro

Dalam dunia pendidikan Islam, dikenal istilah adab addunya dan adab addin. Yang pertama melahirkan tashkir (teknologi), yang mengantar kepada kenyamanan hidup duniawi, sedang yang kedua menghasilkan tazkiyah (penyucian jiwa) dan ma.rifah, yang mengantar kepada kebahagiaan ukhrawi. Keduanya harus terpadu sebagaimana dicerminkan oleh doa rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa .azab annar.
Dalam konteks upaya peningkatan kualitas SDM, kita dapat berkata bahwa jika tujuan pengembangan SDM, terbatas pada upaya meningkatkan produksi dan pengembangan ekonomi, maka boleh jadi dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang dituntut dapat dibatasi pada pengetahuan jenis pertama, itupun dalam beberapa disiplin saja, tetapi jika yang dimaksudkan dengan pengembangan SDM, adalah mewujudkan manusia seutuhnya untuk menyukseskan tugas kekhalifahan, maka keduanya harus diupayakan untuk dipadukan, yang bertujuan untuk mencapai keridhaan ilahi.
Untuk itu, Hasan Langgulung selanjutnya mencetuskan strategi pendidikan yang bersifat mikro. Maksudnya, dalam pelaksanaannya yaitu secara individu. Ruang lingkup strategi ini lebih menitikberatkan pada strategi yang harus dilakukan oleh individu sebagai seorang muslim pakar-pakar dalam bidang pendidikan memusatkan pada konsep tazkiyah.[26]
1. Tazkiyah al-Nafs
Tazkiyah dalam pengertian bahasa bermakna pembersihan (tathir), pertumbuhan dan perbaikan (al-islah). Jadi, pada akhirnya tazkiyah berarti kebersihan dan perlakuan yang memiliki metode dan teknik-tekniknya, sifat-sifatnya dari segi syariat, dan hasil-hasil serta kesan-kesannya terhadap tingkah laku dan usaha untuk mencari keridhaan Allah Swt. Dalam hubungan dengan makhluk, dan dalam usaha mengendalikan diri menurut perintah Allah swt.
Tazkiyah dibagi kepada tiga komponen:
a. Tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa), inilah yang paling relevan dengan apa yang disebut konseling dewasa ini.
b. Tazkiyah al-aql (penjernihan akal), komponen ini mengandung dua hal:
1) Tazkiyah al-aqaid (menjernihkan aqidah dan pikiran).
2) Tazkiyah Asalib al-Tafkir (penjernihan cara-cara pemikiran). Dalam bagian ini pelajar: i) Dilatih mengkritik diri (self critism). ii) Dilatih mengadakan pembaruan bukan bertaqlid (innovation). iii) Dilatih berpikir secara saintifik (scientific thinking). iv) Dilatih berpikir secara kolektif bukan individual.
c. Tazkiyah al-Jism (penjernihan tubuh/badan). Ini terbagi dalam dua kelompok:
1) Penyusunan kebutuhan tubuh yang bertujuan untuk pertumbuhan dan kesehatan jasmani.
2) Berhemat dengan tujuan agar tenaga dan potensi manusia jangan terbuang. Ini banyak dibincangkan dalam ilmu ekonomi.Dari sini dapat dipahami periode tazkiyah itu bertujuan membentuk tingkah laku baru yang dapat menyeimbangkan roh, akal, dan badan seseorang sekaligus.
Dalam tazkiyah al-Nafs itulah konseling ini dapat dibuat perbandingan dari segi metode dan tekniknya. Untuk mencapai tujuan itu seorang konselor perlu adanya metode teknik seperti pada konseling. Di antara metode tazkiyah adalah:
1) Sembahyang (shalat).
2) Puasa.
3) Zakat.
4) Haji.
5) Membaca al-Qur.an.
6) Zikir.  ematian (dzikrul maut).
9) Muraqabah, muhasabah, mujahadah, dan muatabah.
10) Jihad, amar ma.ruf, dan nahi munkar.
11)Khidmat dan tawadu..
12)Mengetahui jalan masuk setan ke dalam jiwa dan menghalanginya
13)Mengetahui penyakit hati dan menghindarinya.16
Adalah kewajiban manusia untuk berusaha memanfaatkan sumber dayanya bagi pengembangan ilmu dan teknologi dalam mengatasi kesukaran-kesukaran hidup. Dalam usaha memanfaatkan sumber daya manusia banyak yang cenderung berfikir bahwa ukuran spiritual Islam adalah suatu hal dan pengembangan ilmu adalah hal lain. Padahal dimensi spiritual sangat penting dalam pengembangan SDM.
Kualitas SDM tidak akan sempurna tanpa ketangguhan mental-spiritual keagamaan. Sebab, penguasaan iptek belaka tidaklah merupakan salah-satunya jaminan bagi kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Sumber daya manusia yang memegang nilai-nilai agama akan lebih tangguh secara rohaniah. Dengan demikian akan lebih mempunyai rasa tanggung jawab spiritual terhadap iptek.17
Iptek yang telah diraih oleh manusia dalam pandangan Islam harus dapat mencapai kebahagiaan material dan spiritual umat manusia bagi tercapainya suatu kehidupan yang dikenal dengan sebutan rahmatan lil alamin. Dengan persepsi kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa sebagai nilai dasar dalam pengembangan sumber daya bagi manusia maka akan terdapat dalam masyarakat manusia suatu kehidupan yang jujur, rukun, manusiawi, adil, dan beradab sejalan dengan kehendak Ilahi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang ia ciptakan dengan diperlengkapi daya kekuatan yang dikenal dengan istilah human resources. Oleh sebab itu, pengembangan sumber daya manusia tidak semata-mata mengisi alam pikiran dengan fakta-fakta tetapi juga mengisi dengan kemampuankemampuan memperoleh ilham dan inspirasi yang dapat dicapai melalui keimanan kepada Allah swt atau dalam konsep Hasan Langgulung di atas dengan cara tazkiyah al-Nafs sehingga tugas yang besar dimana iptek memegang supremasi kekuasaan di abad modern ini berdaya guna dan produktif bagi kesejahteraan umat manusia.
Perlu ditegaskan bahwa manusia yang telah memiliki SDM berkualitas harus setia kepada nilai-nilai keagamaan. Ia harus memfungsikan qalb, hati nurani dan intuisinya untuk selalu cenderung kepada kebaikan. Inilah yang disebut sifat hanif dalam diri manusia.


C. Reorientasi Pendidikan Islam
Selain mengemukakan strategi pendidikan Islam di atas, Hasan Langgulung juga memaparkan wacana reorientasi pendidikan agama Islam yang berkaitan erat dengan pengembangan SDM, namun tidak termasuk dalam strategi di atas. Ia berpendapat bahwa pendidikan Islam seharusnya mempunyai orientasi yang dapat mengembangkan SDM. Dalam hal ini ia mengemukakan tiga orientasi bagi pendidikan agama (Islam).
1. Membangun Motivasi / Etos Kerja
Agama Islam membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan di akhirat itulah kebahagiaan sejati dan kekal selamalamanya, kebahagiaan di dunia bersifat sementara dan hanyalah alat untuk mencapai kebahagiaan sejati di akhirat namun ibarat ladang tempat menanam untuk memetik hasilnya di akhirat. Kebahagiaan di dunia terjadi dalam bentuk terhindar dari segala yang mengancam dan mencelakakan hidup seperti penganiayaan, ketidakadilan, bencana, siksaan, kerusuhan, kedzaliman, pemerasan, dan segala macam penyakit dan marabahaya. Kebahagiaan jenis ini diberikan oleh Tuhan kepada manusia karena beriman dan beramal. Kebahagiaan akhirat terjadi dalam bentuk terhindar dari siksaan, baik di dalam kubur maupun pada hari akhirat sebelum dan sesudah menjalani pengadilan untuk surga dan neraka.
Ada dua syarat utama untuk kebahagiaan itu, yaitu iman dan amal. Iman adalah kepercayaan kepada Allah swt, rasul, malaikat, kitab, hari kiamat, dan qadha dan qadar. Semua ini berkaitan dengan kebahagiaan manusia di akhirat. Inilah syarat utama. Syarat kedua ialah amal. Amal ialah perbuatan, tindakan, tingkah laku termasuk yang lahir dan batin, yang nampak dan tidak nampak, amal jasmani ataupun amal hati. Ada dua jenis amal yaitu amal ibadah (devotional act), yaitu amal yang khusus dikerjakan untuk membersihkan jiwa bagi kehidupan jiwa itu sendiri. Yang
kedua inilah amal muamalat (non-directed act) yaitu segala amal yanag berkaitandengan hubungan manusia dengan manusia lain, seperti amal dalam perekonomian, kekeluargaan, warisan, hubungan kenegaraan, politik, pendidikan, sosial, kebudayaan, dan lain-lain. Ibadah ialah makanan ruhani sedangkan amal muamalat ialah makanan jasmani. Inti pendidikan agama yang dapat memberikan motivasi kerja bagi setiap individu dan masyarakat ialah iman dan amal. Karena hanya itulah menurut system kepercayaan Islam yang dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia dan dapat menghindarkannya dari kecelakaan di dunia dan di akhirat. Jadi, orientasi baru pendidikan agama ialah iman dan amal ke arah pembentukan masyarakat yang
bermotivasi.



2. Membangun Disiplin Kerja
Pembentukan masyarakat yang memiliki motivasi saja tidak cukup, motivasi kerja itu perlu dibimbing dan dikawal untuk ditujukan ke suatu arah tertentu, misalnya ke arah tujuan pembangunan. Motivasi perlu dikawal, diatur, diarahkan, disusun, dan lain-lain supaya bergerak menuju ke arah yang dituju, misalnya pembangunan. Itulah disiplin. Disiplin tak hanya memiliki makna sempit; menyekat, mengendalikan dan menahan, tetapi makna disiplin menurut Hasan Langgulung ialah melatih, mendidik, dan mengatur atau hidup teratur. Jadi, kalau motivasi beriringan.istilah Hasan Langgulung: bergandeng bahu.memang sudah tepat atau ideal. Karena yang pertama bergerak dengan kuat dan cepat manakala yang kedua mengatur dan melatih
agar motivasi mempunyai arah dan tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan agama, ada beberapa hal yang sangat berkaitan dengan disiplin, misalnya:
a. Sembahyang (shalat lima waktu) sehari semalam.
b. Puasa dalam bulan ramadhan.
c. Ibadah shalat sunah dan puasa sunah.
d. Konsep amanah yang memiliki makna pemberian tuhan kepada manusia termasuk kekayaan, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan lain-lain harus pula dianggap sebagai tanggung jawab besar.

Pendidikan Islam sepatutnya menitikberatkan praktek ibadah dalam membentuk disiplin anak-anak di sekolah. Pengajaran yang terlalu menitikberatkan aspek kognitif dari pelajaran agama sekedar untuk lulus ujian sudah terlambat (out to date). Sekarang yang diperlukan adalah penghayatan pendidikan agama itu untuk membentuk masyarakat yang bermotivasi dan berdisiplin.
3. Internalisasi Nilai-nilai
Masalah penghayatan (internalitation) bukan hanya pada pendidikan agama saja, tetapi pada semua aspek pendidikan. Pendidikan akan menjadi dangkal jikahanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) terutama yang berkenaandengan fakta (pengetahuan) dan  kemahiran (skill). Pendidikan seperti ini tidaklah terlalu rumit karena tidak terlalu banyak melibatkan aspek nilai. Tetapi, sebaliknya pembelajaran sikap yang melibatkan nilai biasanya berasal dari cara kemasyarakatan yang diperoleh pelajar semasa kecil. Nilai itu mestinya mempunyai model, yang bermakna tempat nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai itu beroperasi. Ambillah sebuah nilai seperti kejujuran. Menurut Langgulung, nilai ini bersifat mujarrad (abstract). Supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat disaksikan beroperasi, maka nilai itu
harus melekat pada suatu model, misalnya pada seorang guru, bapak, atau seorang kawan. Inilah sebagian yang perlu wujud untuk penghayatan nilai. Oleh karena pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah penghayatan agama, maka orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali agar sesuai dengan tujuan tersebut.20 Itulah tiga orientasi pendidikan agama Islam yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung. Ketiga orientasi tersebut mencerminkan bahwa pendidikan tak cukup dipelajari secara teori saja. Pendidikan agama Islam harus bisa mengejawantahkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, kapan dan dimanapun.
Pendidikan Islam harus menjadi spirit bagi manusia untuk mengembangkan SDMnya guna meraih kehidupan yang baik dan layak di dunia. Namun, pendidikan Islam juga harus menjadi pengontrol segala tindakan manusia agar dalam meraih tujuan hidup yang layak tersebut tetap dengan memegang teguh nilai-nilai Islam sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan tugas dan fungsi sebagai khalifah di muka bumi.




D.PENERAPAN ETIKA BISNIS  ISLAM DALAM MANAJEMEN SUMBER DAYA  MANUSIA

Pentingnya Sumber Daya Manusia dalam Sebuah Perusahaan

Peran SDM bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani SDM yang handal harus dilakukan sebagai human capital. Para manajer harus mengaitkan pelaksanaan MSDM dengan strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas. Peran strategis SDM dalam organisasi bisnis dapat dikolaborasi dari segi teori sumber daya. 
Fungsi perusahaan adalah mengerahkan seluruh sumber daya atau kemampuan internal untuk menghadapi kepentingan pasar sebagai faktor eksternal utama. Sumber daya sebagaimana disebutkan di atas, adalah SDM strategis yang memberikan nilai tambah (added value) sebagai tolok ukur keberhasilan bisnis. Kemampuan SDM ini merupakan competitive advantage dari perusahaan. Dengan demikian, dari segi sumber daya, strategi bisnis adalah mendapatkan added value yang maksimum yang dapat mengoptimumkan competitive advantage.
Adanya SDM ekspertis: manajer strategis (strategic managers) dan SDM yang handal yang menyumbang dalam menghasilkan added value tersebut merupakan value added perusahaan. Value added adalah SDM strategis yang menjadi bagian dari human capital perusahaan.

Peter Drucker (1998), pakar manajemen terkenal bahkan mengemukakan bahwa tantangan bagi para manajer sekarang adalah tenaga kerja kini cenderung tak dapat diatur seperti tenaga kerja generasi yang lalu. Titik berat pekerjaan kini bergerak sangat cepat dari tenaga manual dan clerical ke knowledge-worker yang menolak menerima perintah (komando) ala militer, sebagaimana cara yang diadopsi oleh dunia bisnis 100 tahun yang lalu. Kecenderungan yang kini berlangsung adalah, angkatan kerja dituntut memiliki pengetahuan baru (knowledge-intensive, high tech-knowledgeable), yang sesuai dinamika perubahan yang tengah berlangsung. Tenaga kerja di sektor jasa di negara maju (kini sekitar 70 persen) dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan tenaga paruh waktu (part-timer) juga semakin meningkat. Pola yang berubah ini menuntut pengetahuan baru dan cara penanganan (manajemen) yang baru. Moskowitz, R. and Warwick D. (1996) berpendapat, bahwa Human capital yang mengacu kepada pengetahuan, pendidikan, latihan, keahlian, dan ekspertis tenaga kerja perusahaan kini menjadi sangat penting, dibandingkan dengan waktu-waktu lampau.

Malcolm Baldrige, menyatakan bahwa penanganan SDM sebagai Human Capital telah berhasil jika MSDM sudah merencanakan penerapan dan intergrasi pertumbuhan pegawai secara penuh, mencakup program pelatihan, alur pengembangan karier, penilaian/proses kesadaran pribadi, kompensasi, pemberian wewenang, dan hasil terukur. Di samping itu manajemen senior dan madya terlibat secara penuh dan mendukung serta turut berlatih bersama untuk membangun perkembangan organisasi dan pegawai.

Semua personalia dalam organisasi sudah merasakan bekerja dalam kelompok (bukan hanya sebagai individu). Setiap unit kerja sudah menguasai pegawai mereka melalui kelompok fungsional dan pembagian informasi yang sesuai dengan fungsi masing-masing. Perusahaan sebagai organisasi telah mempunyai suatu rencana menyeluruh dan secara penuh terhadap pengembangan sumber daya manusia dengan memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap penigkatan kualitas secara penuh. Dan, setiap pegawai mendapatkan reward untuk setiap prestasi. 

Untuk mencapai penanganan SDM sebagai Human Capital dapat dinilai dari komponen-komponen sebagai berikut:

1.      Perencanaan dan Pengelolaan SDM

a. Seberapa jauh perencanaan SDM dikaitkan dengan strategi.
b. Seberapa jauh SDM dikaitkan dengan tujuan peningkatan kualitas.
c. Seberapa besar penggunaan data pegawai untuk peningkatan pengelolaan
SDM.

2.      Peningkatan Pegawai

a. Seberapa besar insentif bagi keterlibatan pegawai dalam peningkatan
kualitas.
b. Seberapa besar wewenang yang diberikan kepada pegawai dalam area
kerja mereka.
c. Bagaimana pengukuran dan pemantauan pegawai dalam peningkatan
kualitas.
d. Bagaimana indicator monitoring keterlibatan pegawai pada semua
tingkatan.

3.      Pendidikan dan Pelatihan

a. Bagaimana sistematika pengembangan program pelatihan dan pendidikan.
b. Bagaimana mengukur kaitan pelatihan dan pendidikan dengan pekerjaan
pegawai.
c. Seberapa jauh pengaruh hasil pelatihan berhubungan dengan area Pekerjaan pegawai.
d. Bagaimana mengukur pelatihan pegawai dengan kategori pekerjaan.

4.      Kinerja Pegawai dan Pengakuan

a. Seberapa jauh reward program mendukung tujuan peningkatan mutu.
b. Bagaimana intensitas organisasi meninjau ulang dan meningkatan reward program.
c. Bagaimana pengelolaan data dan bukti pengenalan setiap pegawai.
d. Bagaimana keberlanjutan peningkatan program untuk mencapai kepuasan pegawai.

5.      Kepuasan Pegawai

a. Seberapa jauh program pengembangan pelayanan kepada pegawai;
b. Bagaimana system penilaian & evaluasi kepuasan pegawai;
c. Bagaimana kelengkapan data dalam peningkatan dan pelayanan pegawai.

Dengan demikian, human capital, bukanlah memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan SDM sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.

Islam sebagai sebuah way of life, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan SDM pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. 

Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif, dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali-Imran ayat 195.

Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi ”Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.”(H.R. Tirmidzi). 

Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26. Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.

Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan SDM dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu capital bukan sebagai cost unit. Dengan demikian, penanganan SDM sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami

v  Kerja, Gaji dan Bayaran.

Etika kerja dalam Islam mengharuskan bahwasanya gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan hendaknya jelas disetujui pada saat mengadakan kesepakatan awal . ini juga mengharuskan bahwa gaji yang telah ditentukan, dan juga bayaran-bayaran yang lain yang hendaknya dibayarkan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan diantara para pekerja atas dasar kwalitas dan kwantitas kerja yang dilakukan. Ini memberikan bukti bahwa gaji yang didapat oleh para pekerja tidak harus sama rata. Dalam hal ini Al-Mubarak menyatakan bahwa pemberian gaji yang sama atas sebuah pekerjaan yang berbeda dan variatif adalah bentuk dan tindak kedzaliman.

Islam telah menetapkan hukum untuk perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara para pekerja dan yang memperkerjakan. Sesuai dengan etika kerja dalam islam, seorang pekerja haruslah berlaku adil dan jujur terhadap apa yang menjadi tugas dan kerjanya. Orang yang mempekerjakan orang lain, yang berusaha melakukan penundaan atau melakukan kesewenang-wenangan pada mereka, maka dalam pandangan Al-Qur’an, dianggap sebagai dosa besar dan berhak mendapatkan siksaan. Al-Qur’an memerintahkan bahwa gaji hendaknya ditentukan atas dasar konsultasi dan kesepakatan. Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga amanah dan tanggung jawab yang dibebankan pada dirinya.

Pekerja yang paling baik adalah orang yang melakukan pekerjaannya dengan penuh efisien yang benar. Setiap orang harus bertanggung jawab ini juga berlaku bagi sebuah pekerjaan yang dia emban, apapun bentuk pekerjaan itu.

Seseorang yang bekerja untuk orang lain, baik perusahaan ataupun institusi, telah Allah perintahkan untuk melakukan pekerjaannya dengan cara yang seefisien dan sebaik mungkin. Pekerjaan yang diberikan seseorang pada dirinya adalah sebagai amanah, penerimaaan kerja itu hendaknya dengan cara yang amanah, dan kemudian dia harus memenuhi amanah itu dengan sebaik-baiknya. Yusuf Musa mengutip sabda Rasulullah,”Setiap orang dari kalian adalah pemimpin, dan mereka akan dimintai pertanggung jawabannya,” ia berkata bahwa ini juga meliputi setiap pekerja karena “Tanggung jawabnya” adalah pekerjaan yang dibebankan pada dirinya didalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah termasuk didalamnya masalah pekerjaan seseorang ataupun sebuah tanggung jawab, sebagaimana antonym dari kata amanah yaitu khiyanah di dalamnya mencakup semua bentuk pengingkarandan tidak dipenuhi tanggung jawab seseorang terhadap amanah dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

v  Menanamkan jiwa Jujur, Tulus Hati, dan Benar

Al-Qur’an memerintahkan pada manusia untuk jujur, tulus/ikhlas dan benar dalam semua perjalanan hidupnya, dan ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Pada saat penipuan tipu daya dikutuk dan dilarang, kejujuran tidak hanya diperintahkan, ia dinyatakan sebagai keharusan yang mutlak dan absolute. Sesekali kejujuran diseberangkan/diaposisikan dengan hipokrasi (kemunafikan) disamping ayat-ayat yang ada didalam Al-Qur’an yang memerintahkan kejujuran dan tulus hati ini, disana juga masih banyak hadist yang memerintahkan agar manusia berlaku jujur dan tulus hati. 

Islam juga memerintahkan setiap Muslim untuk jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Bentuk niat dari sebuah pekerjaan akan sangat menentukan takaran keikhlasan seseorang. Islam memerintahkan semua transaksi bisnis secara jujur, tidak akan memberikan koridor dan ruang penipuan, kebohongan dan eksploitasi dalam segala bentuknya. Perintah ini mengharuskan setiap pelaku bisnis untuk secara ketat berlaku adil dan lurus dalam semua dealing dan transaksi bisnisnya. Barang siapa yang tidak melakukan perintah Al-Qur`an yang demikian dan terlibat dalam penipuan, kebohongan dan eksploitasi mereka diancam dengan hukuman yang sangat berat.

v  Effisien dan Kompeten

Islam menganjurkan pada kaum Muslimin untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaannya dengan tanpa penyelewengan dan kelalaian. Ia hendaknya melakukan tugas-tugas dengan cara yang seeffisien mungkin dan penuh kompetensi. Ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai terhormat. Satu pekerjaan kecil yang dilakukan dengan cara konstan dan profesional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak profesional. Kompetensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang yang dianggap sebagai pekerja yang jempolan.

Al-Qur`an memerintahkan manusia untuk menguasai alam ini dan mempergunakan sumber-sumber kekayaannya. Al-Qur`an menyuruh manusia untuk menguasai lautan dan mempergunakan sebagai sarana navigasi, untuk mencari makanan-makan dari laut, untuk mencari mutiara-mutiara yang bisa dipergunakan untuk kepentingan mereka. Al-Qur`an juga memerintahkan manusia untuk mengolah besi, untuk membangun industri-industri berat atau untuk membangun rumah besar dan seterusnya. 

Karena tidak ada satupun pekerjaan dan tugas yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara yang efisien dan kompeten, maka otomatis peningkatan kualitas-kualitas dalam masalah ini dengan sendirinya merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dielakkan. Inilah sebabnya mengapa Al-Qur`an menyuruh setiap Muslim menjadi seseorang yang melakukan segala sesuatu dengan efisien dan kompeten.

v  Seleksi Berdasarkan Keahlian

Standar Al-Qur`an untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kekompetanan seseorang dalam bidang tertentu. Ini penting untuk ditekankan, karena tanpa adanya prasyarat kompetensi dan kejujuran maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Abdul Hadi menekankan bahwasannya Al-Qawi (kuat dan efisien) bisa dilihat pada surat 28:26 memberikan gambaran bahwa prioritas pemilihan seseorang pekerja hendaknya didasarkan bahwasannya seseorang melebihi yang lain dalam kapasitasnya, baik secara fisik maupun mental, untuk memangku pekerjaan yang disediakan.

Disamping adanya ayat-ayat Al-Qur`an, banyak hadits Rasulullah yang memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk melihat keahlian dan kompetensi sebagai kriteria utama untuk menetapkan pekerjaan dalam sebuah tugas publik. Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi pemilik otoritas untuk melakukan investigasi sebelum ia menentukan seseorang dalam jabatan publik tertentu, terutama sekali dalam posisi kunci mengambil keputusan. Rasullullah sendiri merasa perlu melakukan interview dengan Muadz bin Jabal untuk melihat kapasitas dan kompetensinya sebelum dia ditunjuk menjadi seorang hakim (qadhi) di Yaman.










E. PERSPEKTIF AL QURAN TERHADAP PENINGKATAN  SDM


            Pada era globalisasi saat ini, bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam khususnya, dihadapkan pada satu permasalahan yang pelik, peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ini disebabkan era millenium saat ini adalah era kompetisi. Era di mana setiap orang diukur dari kemampuan, kapabilitas, skill dan kualitas pribadi yang dimilikinya. Tapi parahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia dan yang dimiliki umat Islam mengalami penurunan. Dalam Al Quran surah al-Baqarah ayat 249 Allah SWT berfirman: "berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah". Ayat ini mengisyaratkan bahwa yang terpenting adalah kwalitas dan bukan kuantitas. Untuk apa banyak kalau hanya untuk menyemak. Lebih baik minoritas tapi berkualitas dan lebih bagus lagi, mayoritas juga seluruhnya berkualitas.

Untuk pembuktian hal ini adalah peristiwa "Perang Badar", yang terjadi antara kaum Muslimin Madinah dengan kafir Quraisy Mekah. Perang yang terjadi pada masa Rasulullah dan sahabatnya tersebut berjalan tidak seimbang jika dilihat dari segi jumlahnya. Kaum muslimin berjumlah 314 orang, sedangkan kafir quraisy Mekah berjumlah seribu orang. Ini berarti satu banding tiga, satu orang muslim harus menghadapi tiga orang kafir. Tentu saja ini belum ditinjau dari segi persenjataan dan perlengkapan perang. Sebagaimana dimaklumi, sebagian besar tentara kaum muslimin adalah kaum muhajirin yang berpindah dari Mekah ke Madinah dengan meninggalkan seluruh harta kekayaannya. Mereka hidup dan mencari nafkah di Madinah dengan merintis dari awal lagi. Berarti kehidupan mereka belum sepenuhnya mapan dan butuh sokongan dari saudara mereka kaum Anshor. Tentu peralatan perang yang mereka bawa seadanya dan tidak selengkap yang dimiliki oleh kaum kafir Quraisy Mekah. Tapi apa yang terjadi pada akhir kisah perang besar ini yang mempertaruhkan harga diri dan keberlangsungan dakwah Islam di jazirah Arab dan seluruh dunia? Kemenangan yang sangat gilang gemilang di pihak kaum muslimin. Karena Rasulullah dan para sahabatnya memiliki kualitas diri yang tidak tertandingi oleh tentara kafir Quraisy.[27]

Standarisasi Kwalitas Menurut Al quran

            Kualitas apakah yang harus dimiliki oleh kaum muslimin sehingga dirinya berhak menjadi pemenang dalam setiap pertarungan, selalu sukses dalam setiap ujian dan selalu mendapatkan penghargaan dalam setiap pekerjaan? Kualitas iman dan ilmu pengetahuan. Hal ini seperti yang terukir indah dalam Al Quran pada surah al-Mujadalah ayat 11: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". Yang beriman dan berilmu adalah orang yang berkualitas. Orang yang beriman dan berilmu adalah orang kompetitif yang akan selalu mendapatkan derajat tinggi di kalangan para pesaing dan koleganya.

            Beriman berarti kita mempercayai keberadaan Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul utusan-Nya, hari kiamat dan ketentuan baik dan buruk yang telah dipersiapkanNya bagi kehidupan manusia (qadha dan qadhar). Ini harus teraplikasi nyata dalam kehidupannya.

Seperti misalnya keberimanan kita kepada Allah SWT dan para malaikatNya haruslah dapat kita aplikasikan di dalam kehidupan kita. Allah adalah Penguasa mutlak dan absolut yang tidak ada tandingannya. Kesadaran ini menjadikan diri kita seorang hamba yang menyadari kelemahan, kekurangan dan kenaifannya.

            Dia akan menyadari bahwa hakikatnya tidak berkuasa apapun tanpa bantuan dan pertolonganNya. Ini membuat kita tidak berlaku sombong dan ujub kepada diri sendiri atas setiap pencapaian dan kesuksesan. Tapi kesadaran keberimanan kita kepada Allah ini juga memacu diri kita untuk tetap terus bersemangat memperbaiki diri. Menyadari bodoh maka harus belajar. Tahu miskin maka harus bekerja keras. Tahu diri tidak bertalenta, maka harus semangat melatih diri.

            Malaikat adalah mencerminkan sosok bawahan loyalis yang setia kapanpun sampai mati. Mengerjakan perintah dengan sebaik-baiknya. Menjaga amanah dengan penuh tanggung jawab tinggi. Ini menjadikan kita sosok amanah, jujur dan setia. Rasulullah SAW bersabda "Tidak termasuk orang beriman yang tidak amanah". Khianat adalah sikap orang munafik yang amat tercela di dalam Islam. Allah SWT berfirman "Sesungguhnya orang munafik tempatnya adalah di dasar neraka".
Jika kita memang orang yang beriman kepada malaikat, berarti kita adalah orang yang amat dipercayai oleh siapapun, baik oleh pimpinan, orang tua, teman, istri dan bahkan anak-anak kita.

Pengetahuan tentu saja harus kita raih, untuk menjadi pribadi yang sempurna dan berkualitas. Karena ilmu pengetahuanlah yang dapat memberikan pencerahan hidup dan keberhasilan masa depan. Sangking pentingnya hal ini Rasullullah SAW bersabda: "menuntut ilmu adalah kewajiban setiap orang Muslim" [H.R. Muslim]. Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang ingin kebahagiaan hidup di dunia, maka hendaklah menguasai ilmu pengetahuan, barang siapa yang ingin kebahagiaan hidup di akhirat maka hendaklah dia menguasai ilmu pengetahuan dan barang siapa yang ingin menggapai kebahagiaan di kehidupan keduanya, maka hendaklah dia menguasai ilmu pengetahuan". Imam Ali memberikan penjelasan bahwa sesungguhnya Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang hilang pada jiwa umat ini, karena itu di manapun kalian temukan ilmu, maka kamu wajib untuk mempelajarinya. Dari sini nyatalah bahwa keberimanan dan penguasaan terhadap ilmu adalah syarat mutlak bagi manusia yang berkualitas.












F.     SUMBER DAYA MANUSIA MERUPAKAN KEKUATAN TERBESAR DALAM MENGELOLAH RESAUCES YANG ADA DI MUKA BUMI INI



Sumber daya manusia merupakan kekuatan terbesar dalam pengolahan seluruh resources yang ada dimuka bumi, karena pada dasarnya seluruh ciptaan Allah yang ada dimuka bumi ini sengaja diciptakan oleh Allah untuk kemaslahatan umat manusia
Hal ini sangat jelas telah ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran surah Al-Jatsiyah ayat 13:


وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda(kekuasaanAllah)bagikaumyangberpikir”.

            Oleh karena itu sumber daya yang ada ini harus dikelola dengan benar karena itu merupakan amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Untuk mendapatkan pengelolaan yang baik ilmu sangatlah diperlukan untuk menopang pemberdayaan dan optimalisasi manfaat sunber daya yang ada.

Di dalam surah Ar-Rohman ayat ke 33, Allah telah menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu seluas-luasnya tanpa batas dalam rangka membuktikan kemahakuasaan Allah SWT.

Allah mencerminkan keadaan manusia yang ideal dalam kitabNya yaitu dengan criteria sekurang-kurangnya adalaah sebagai berikut:
  • Segala sesuatunya harus dikerjakan dalam rangka untuk mengesakan Allah ( QS Muhammad : 19)
  • Menganggap bahwa semuanya adalah saudara dan memiliki kedudukan yang sama meskipun berbeda suku bangsa ( QS Al-Hujurat : 13)
  • Saling tolong menolong dan berbuat baik sehingga akan tercipta masyarakat yang harmonis ( QS Al-Maidah : 2)
  • Berlomba-lomba dalam kebaikan ( QS Al-Baqoroh : 148)
  • Toleransi dan bebas menjalankan ajaran agama masing-masing ( QS : Al-Kafirun : 1-6)
  • Selalu istiqomah dalam kebaikan/ teguh pendiriannya dan tidak melampaui batas ( QS Hud : 112)
  • Adil dan selalu memperjuangkan kebenaran ( QS An-Nisa : 58)
  • Mengembangkan pola pikir dengan mempertimbangkan kebaikan atau keburukan tentang suatu kal tertentu/ ijtihad ( Al-Baqoroh : 219).

            Jika manusia telah mampu untuk mengamalkan hal diatas tentulah sumber daya manusia dan alam akan teroptimalkan. Pengayaan kualitas SDM merupakan suatu keharusan dalam islam, sebagaimana yang telah disampailan oleh rosulullah SAW bahwa menuntut ilmu adalah wajib dari mulai lahir hingga wafat. Oleh karena itu mempelajari semua ilmu, baik umum maupun keagamaan merupakan suatu keharusan. Yang harus digaris bawahi ialah kemana ilmu itu akan digunakan.

            Kalau kita menilik akar masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, maka jelaslah kebanyakan manusia tidak mengetahi eksistensi ia ada dimuka bumi ini atau dengan kata lain manusia hanya hidup hanya untk sekedar hidup tanpa memikirkan tentang hari kesudahan.     Dengan demikian maka tatanan yang ada dalam masyarakat hanyalah berkutat pada masalah yangsifatnyapragmatis.

            MSDM yang ada dalam islam adalah semua sumbar daya yang dimanfaatkan untuk ibadah kepada Allah, bukan untuk yang lainnya. Dengan adanya rasa menerima amanah dari Allah maka kemampuan yang dimiliki akan ditingkatkan dan dilakukan dalam rangka menjalankan amanah yang diemban. Sifat yang akan tercermin dari sumber daya manusia islami yang baik ialah siddiq, amanah, fatonah dan tablig.
Keempat sifat ini adalah tolak ukur yang riil untuk mengukur keunggulan sumber daya manusia islami. Semua sifat dan keadaan yang ideal tersebut tentunya tidak akan ada dengan sendirinya melainkan harus dengan usaha yang sungguh-sungguh dan kesabaran yang luar biasa, sebagaimana firmanNya dalam surah Ar-Raad ayat 11 yang artinya:
 “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

            Kerja keras dan kerja cerdas adalah yang utama, untuk itu tidaklah heran juka dalam etos kerja tidaklah jauh beda antara etos kerja orang islam dengan etos kerja nonislam, yang membedakannya hanyalah pada ontology dan aksologinya. Bahkan semangat kerja orang nonmuslim ada yang melebihi orang islam, oleh karena itulah iman seorang muslim penting untukdijadikanacuannya.

            Pada intinya MSDM islam tetap mengacu pada pencapaian kesejahteraan yang diridhoi oleh Allah, tuhan semesta alam, bagaimanapun caranya.



















Ummat Islam diakui memiliki banyak potensi dan harapan. Namun, seolah potensi ini tidak mampu dikelola dengan baik. Manajemen sumberdaya ummat masih lemah dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga melimpahnya potensi kurang bisa ditangkap dan di arahkan. Padahal Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana generasi shahabat bisa mampu terupgrade sedemikian rupa. Sehingga mampu merubah peradaban dunia. Namun kejumudan (statis) dalam tubuh ummat masih dirasakan dibanding dengan kebutuhan inovasi dan dinamikan yang berkembang. Paling tidak permasalahan faktor-faktor pengeolaan sumberdaya manusia (SDM) masih menjadi catatan panjang. Sebagai contoh , fungsi rekrutmen an seleksi potensi ummat sering dikesampingkan. Padahal potensi tersebut masih berlimpah dan bisa dikelola untuk menghasilkan outcome yang jauh lebih produktif dan bermanfaat. Funsi placement/penempatan potensi serta penjagaannya dan monitoring masih belum optimal. Kerja kolektif ummat masih belum ‘berasa’. Masing-masing individu yang berpotensi tidak mampu mengarahkan keunggulan potensinya untuk menghasilkan kinerja kolektif. Bahkan sering dijumpai potensi yang ada hanya mampu di’nikmati’ oleh dirinya sendiri secara materi. Disisi lain penghargaan terhadap potensi ummat yang muncul kurang memadai. Para engginer, teknokrat dari berbagai disiplin keilmuan dan teknologi, serta penemuan berbagai teknologi baru yang bermanfaat bagi ummat kadang masih kurang mendapat perhatian dan penghargaan dari ummat itu sendiri. Ummat dan masyarakat masih lebih menghargai ‘selebritis’ dari pada prestasi dari kinerja produktif yang dihasilkan para ilmuwan. Sehingga tidak bisa disalahkan ketika ‘turn over’ potensi ummat begitu tinggi. Sehingga potensi mereka justru di manfaatkan oleh ‘pihak’ lain. Bagaimana potensi besar ini mampu untuk menegakkan izzah Islam, jika tidak dikelola dengan baik.

Islam adalah dien yang memiliki Izzah yang tinggi. Oleh karena itu ummat Islam harus mampu menunjukkan izzah tersebut paling tidak dengan 4 cara. Yang pertama adalah dangan mengoptimalkan seluruh kemampuan dan kekutan yang dimiliki sebagaimana perintah Allah dalam surat al Anfal 60 “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. Yang kedua, meminimalisir kelemahan yang ada “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. 3:139). Ketiga, memanfaatkan peluang untuk maju “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan “(QS 41:49), serta ke-empat, berani menghadapi berbagai macam tantangan yang ada “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan “ (QS. 27:33). Dalam pendekatan manajemen strategi modern, rumusan yang diajukan oleh Barney (1991) dapat digunakan sebagai sarana untuk memotret kondisi ummat. Rumusan tersebut adalah SWOT: strengths, weaknesses, opportunities, dan threat. Metode ini sering digunakan dalam manajemen stratejik untuk menganalisis positioning pada suatu objek.

Namun ternyata pendekatan SWOT tidaklah cukup untuk ‘menerawang’ kondisi kemampuan di masa yang akan datang. Karena SWOT hanya mampu mendiskripsikan kondisi kekinian (current time). Sedangkan kondisi masyarakat sangat diwarnai dengan model persaingan/kompetisi. Oleh karena itu mengelola ummat perlu garansi ketahanan dalam lingkungan yang penuh dengan dinamika kompetisi. Sehingga paling tidak ada beberapa kunci untuk mempersiapkan diri dalam dunia persaingan ini. Yang pertama adalah kualitas ummat harus dilipatkandakan “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti” (QS 8:65). Kedua, membekali ummat agar memiliki kematangan dan kualitas/“tamayyuz” dalam berbagai sisi. Misalnya pada sisi mutamayyiz fii rijal (kualitas diri), mutamayyiz fi adaa (penunaian tugas), mutamayyiz fii intaj (sentuhan produk-finishing touch), mutamayyiz fii khidmah (pelayanan), dan mutamayyiz fii muamalah (bermasyarakat).  Ketiga membekali ummat untuk memiliki kesiapan tinggi dan keunikan diri. “Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! ” (QS. 4:71). Ke-empat mempersiapkan ummat agar mudah diorganisir “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. ” (QS. 61.4).

Dalam manajemen modern pendekatan yang diajukan Hamel & Prahalat (1996) dijadikan alat untuk mengukur kualitas sistem dan SDM dalam lingkungan yang kompetitif. VRIO; valueable, rareness, immitateness, organized menjadi tools untuk memastikan tingkat persaingan SDM ummat di masa yang akan datang. Secara Statistik Ummat Islam di dunia berjumlah 30% dari jumlah manusia hidup yang ada di dunia. Namun secara wa’qi kualitas kita belumlah memberikan pengaruh hingga 30% dinamika manusia di bumi ini. “…. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir….” (QS 8:65). Bahkan sekian banyak negeri yang ditinggali mayoritas muslim sering menjadi obyek dalam dinamika dunia ini. Sebuah pertanyaan besar mungkin akan muncul. Seperti apakah sumber daya (resources) ummat yang kita miliki sekarang ini? bagaimana dengan kompetensinya?dan bagaimana mengelolanya?

Dalam era kompetisi yang begitu ketat, pendekatan ilmuwan barat (Boxal P., 1998) dalam hal ini mengakui bahwa kombinasi sumberdaya-resources dengan kemampuan-competencies akan menghasilkan posisi keunggulan bersaing (competitive advantages) pada sebuah entitas. Oleh karena itu sumberdaya-resources dan kemampuan-competencies seharusnya menjadi milik ummat. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. 3:110). Para peneliti di bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) telah melakukan investigasi dengan berbagai pendektan teori ontology, epistemology dan methodology (Lynham, SA, 2000). Serta telah mengambangkan pendekatan pengembangan sumberdaya manusia baik dengan perspektif universal, contigency maupun configurational (Delery et al, 1996). Sehingga ditemukan berbagai model teori pengembangan SDM dalam berbagai perspektive seperti perilaku-behavioral, cybernetic model, agency/transactional cost model, resources based view, power/resources dependent model, institutional model dan human capital model (Wright et al, 1992). Berbagai model teori ini memperhatikan faktor dinamika lingkungan baik secara sosiologi, ekonomi, manajemen, psikologi, teknologi, struktur internal hingga budaya negara (Jackson et al, 1995). Sehingga ditemukan berbagai bentuk strategi yang berfungsi untuk pengelolan SDM  seperti strategi Defender, Prospector, Analyzer. Model strategi ini telah diuji dalam berbagai kondisi dinamika lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhinya (Miles et al, 1984). Selain itu berbagai bentuk strategis ini memperhatikan 5 variabel dasar yaitu tipologi (Lengnick et al, 1988), arsitektural (Lepak et al, 1999), fleksibilitas (Wright et al, 1998), sustainabilitas (Lado et al, 1994) dan competitive Advantages (Boxall P., 1998). Pada umumnya pengelolan SDM didasari oleh tingkat kesiapan dan pengelola SDM, serta disesuaikan dengan tuntutan pertumbuhan yang dihadapinya. Pengelolaan SDM di kelompokkan menjadi 4 tipologi; pengarahan, pengembangan, produktivitas, dan ekspansi. Pengarahan SDM dilakukan jika tingkat kesiapan dan orientasi pertumbuhannya rendah, sedangkan jika tingkat kesiapan dan orintasi pertumbuhan tinggi, maka pendekatan yang dilakukan adalah ekspansi. Begitupun juga tingkat kesiapan rendah dan tuntutan pertumbuhan tinggi, maka pendekatan tipe pengelolaan SDM di arahkan peda pengembangan. Sebaliknya jika tuntutan pertumbuhan tinggi namun tingkat kesiapan SDM rendah maka yang dilakukan fokuskan adalah produktivitas.

Dalam melakukan desain pengelolaan SDM, faktor arsitektural kondisi SDM perlu di perhatikan untuk melakukan penataan, penempatan dan alokasi SDM agar tepat sasaran. Ada 4 pendekatan berdasarkan tingkat kemampuan SDM menghadapi persoalan yang ada. Tingkat kesiapan ini dinilai dari 4 perspektif pendekatan competitive advantages. Yang pertama adalah tingkat nilai yang dimiliki oleh SDM. Yaitu kemampuan SDM dalam menangkap peluang, dan kemampuan menurunkan tingkat resistensi yang di hadapinya pula. Kedua, adalah tingkat kematangan SDM dalam menghadapi permasalahan. Ketiga adalah sulitnya di tiru potensi SDM yang ada oleh kompetitor dan sulitnya di ganti dengan sumber daya lain karena keunikan SDM yang dimiliki. Keempat adalah potensi organisir baik mengorganisir maupun diorganisir dari SDM yang ada dalam sebuah sistem. Keempat perspektif ini akan mengarahkan pada pola arsitektural penanganan SDM. Alokasi SDM bisa dilakukan dengan pendekatan pengembangan yang progresif dari sumberdaya internal, akuisisi terhadap potensi SDM lain, kerjasama, atau aliansi berbagai potensi SDM.

Modal ini diharapkan akan membawa ummat memiliki keunggulan menuju izzah dan kemenangan. Namun untuk memastikan pencapaian kemenangan dan izzah harus dijaga oleh lima syarat: istihqaq annajah (syarat sukses). Lima syarat untuk meraih kemenangan ini, yang yastahiqqun najah ini adalah ; al-qiyam tastahiqun najah (winning value), Almanhaju yastahiqqun najah (Winning Concept), An-Nizham yastahiqqun najah (Winning System), Al-jama’atu yastahiqqunnajah (Winning team), dan Al-Ghoyatu tastahiqqun najah (winning goal).

Proses pengelolaan SDM yang dicontohkan Rasulullah SAW telah menghasilkan generasi berkualitas para shahabat, yang diabadikanNYA dalam surat Al fath 29. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. 48:29).

Generasi awal yang direkrut Rasulullah menjadi panduan bagi kita untuk mengumpulkan potensi ummat yang beragam karakter dan kompetensi, layaknya Abu Bakar ash shidiq, Ummar bin khattab, Utsman bin affan dan Ali bin abi thalib, yang selalu membersamai tinta emas perjalanan shiroh Rasulullah SAW. Seleksi yang cukup ketat dilakukan Rasulullah pada para shahabatnya di tempat Arqam bin abi Arqam menggunakan mekanisme pembinaan yang harus selalu dieksplorasi ibrohnya. Placement dan penugasan bagi para shahabar dilakukan seperti penugasan sebagai para duta Islam ke berbagai kekuatan dunia seperti ke Habasyah, Kisra, serta Romawi. Bahkan proses peningkatan kualitas para shahabat dengan berbagai training/tadrib di medan jihad seperti keberangkatan ke Badar, ketaatan di Uhud, inovasi di khandak dan lain sebagainya. Pengelolaan para shahabat menjadi mereka menjadi generasi yang unik penuh dengan inovasi dan kejutan sejarah. Tidak lupa Rasulullah SAW pun selalu mengingatkan akan jaza’ (Compensation) yang disediakan Allah bagi setiap muslim yang berprestasi membangun peradaban.

Sudah saatnya kita kembalikan mengevaluasi program regenerasi dan pengelolaan (Human resources management) ummat. Dengan harapan agar –ke depan- tidak tersia-sia potensi yang telah dimilikinya, terakselerasi secara komunal, termbina secara terstruktur, terarah, dengan tahap yang jelas, terakselerasi secara horisontal maupun sisi vertical. Namun dengan tidak melupakan berbagai sisi kemanusiaannya. Oleh karenanya pembinaan (tarbiyyah), ummat harus dimulai dari proses rekrutmen dan seleksi yang terbuka dan ketat, reorientasi optimalisasi potensi, penempatan (placement) potensi yang sesuai, pelatihan dan pengembangan (training and development) potensi menghadapi tantangan masa depan, serta pemberian penghargaan yang layak demi kemanusiaan (compensation). Semoga dengan penuh kesungguhan dan profesionalitas, kita dapat mengembalikan izzah ummat yang terlenakan. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. 3:110).





DAFTAR PUSTAKA

Adnanputra, Ahmad S., .Strategi Pengembangan SDM Menurut Konsep Islam.,
dalam Majalah Triwulan Mimbar Ilmiah, Universitas Islam Djakarta, Tahun IV
No. 13, Januari 1994

Arifin, Muzayyin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993

Arifin, Zainal, Nuansa Teosentris Humanistik Pendidikan Islam; Signifikansi
Pemikiran Hasan Langgulung dalam Konstalasi Reformasi Pendidikan Islam,
STAIN Cirebon: Lektur-Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Seri VIII/Th. Ke-5/9

Assegaf, Abd. Rachman, .Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi.,
dalam Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004, Cet. I

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000, Cet. II

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet. III
 Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995, Cet.II

Departemen Agama RI, Al-Qur.an dan Tafsirnya, Jilid I, III, V, X, 1983/1984

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. X

Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999, Cet
II
 Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, Cet. I
Fattah, Nanang Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000

Gunaharja, Suprihatin, et.al., Pengembangan Sumber Daya Keluarga, Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1993, Cet. I

Hasan, Engking Soewarman, .Strategi Menciptakan Manusia yang Bersumber Daya
Unggul., dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Diknas,
No.039, Tahun ke-8, November 2002

Harahap, Syahrin, Islam Dinamis; Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur.an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, Cet. I

Harun, Cut Zahri, .Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan
Merupakan Kunci Keberhasilan Suatu Lembaga di Era Globalisasi dan Otonomi
Daerah., dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Diknas, No.
041, Tahun Ke-9, Maret 2003

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1997
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, Cet. II
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru,
2003, Cet. V
-------, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma.arif, 1995
-------, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1991, Cet. 1
-------, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1995, Cet. III
-------, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985, Cet. III
-------, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003,
Cet. III, Edisi Revisi
-------, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002, Cet. 1
83
Latif, Abdul, Pengembangan Sumber Daya Manusia yang Berkualitas Menghadapi
Era Pasar Bebas, Jakarta: DPP HIPPI, 1996
Mahmud, Ali Abdul Halim, Islam dan Pembinaan Kepribadian, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995, Cet I
Manzur, Ibn, Lisan al-Arab, Mesir: Daar al-Mishriyyah, 1968, Jilid VII
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma.arif,
1989, Cet. VIII
Mastuhu, Menuju Sistem Pendidikan yang Lebih Baik Menyongsong Era Baru Pasca
Orba, Makalah: disampaikan pada Diskusi Panel HMJ-KI IAIN Jakarta,
13/12/98
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Tri Genda Karya, 1993, Cet. I
Munandar, A.S., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Jakarta: Djaya Pirusa, 1981
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1995, Cet. 1X
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, Cet. I
 Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. I
Notoatmodjo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka
Cipta, 1998, Cet. II
Pamungkas, Sri Bintang, Dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dan IPTEK
Mengatasi Kemiskinan, Mencapai Kemandirian, Jakarta: Seminar dan
Sarasehan Teknologi, 1993
Pulungan, Syahid Mu.amar, Manusia dalam al-Qur.an, Surabaya: Bina Ilmu, 1984,
Cet.1

Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Qur.an, Jakarta: Gema Insani Press, 1999,
Cet. I
Rahardjo, M. Dawam, et.al, Ensiklopedi Alquran, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet.I





[1][1]         Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2003, Hal 1
[2][2]         Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2008 Hal 67
[3][3]      Robbin dan Coulter, Manajemen (edisi kedelapan), PT Indeks, Jakarta, 2007, Hal 35
[4][4]      Sondang P Siagian, Filsafah Administrasi, CV Masaagung, Jakarta, 1990, 56
[5][5]         Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. Jakarta: 2000. Hal 31
[6][6]         Paulus Winarto, First Step to be an Entrepreneur. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2003. Hal. 3.

[7][7]         www.bagais.go.id.
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur.an dan Tafsirnya, Jilid I, 1983/1984, h. 89-90
[9] ibid., Jilid III, h. 345-346

[10]  Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur.an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. I, h. 256

[11] Syahminan Zaini dan Ananto Kusuma Seta, Wawasan al-Qur.an tentang Pembangunan Manusia Seutuhnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 1996), Cet. II, h. 5

[12]  yahid Mu.amar Pulungan, Manusia dalam al-Qur.an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), Cet.1, h. 15-17


[13] Muhammad Syamsudin, Manusia dalam Pandangan KH. A. Azhar Basyir, (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1997), Cet. II, h. 77

[14] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. I, h. 260
[15] Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), Cet. II, h. 19-20

[16]  Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Mesir: Daar al-Mishriyyah, 1968), Jilid VII, h. 306-314

[17] Ali Abdul Halim Mahmud, Islam dan Pembinaan Kepribadian, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), Cet I, h. 51

[18] M. Dawam Rahardjo, et.al, Ensiklopedi Alquran, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet.I, h. 264-265


[19] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985), Cet. III, h. 224

[20] alaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), Cet.II, h.108
36 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h.51


[22] Wakhudin, Tarmizi Taher; Jembatan Umat, Ulama dan Umara, (Bandung: Granesia, 1998), h. 240-241


[23] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma.arif, 1995), h. 67

[24]   Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21., Op.Cit., h. 176-179

[25]  Engking Soewarman Hasan, .Strategi Menciptakan Manusia yang Bersumber Daya Unggul., dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Diknas, No.039, Tahun ke-8, November 2002, h. 863-870.


[26] Engking Soewarman Hasan, .Strategi Menciptakan Manusia yang Bersumber Daya Unggul., dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Diknas, No.039, Tahun ke-8, November 2002, h. 863-870.


[27] {Hery firmansyah Penulis adalah Kepala KUA Kecamatan Sirandorung Kabupaten Tapanuli Tengah dan Dosen STIT Hasiba Barus.}